Jumat, 23 Agustus 2013

Nyai Gedhe Pinatih Ibu Angkat Sunan Giri Versi Slamet Moentadhim

Oleh:
Slamet Moentadhim

WANITA SAUDAGAR TERKAYA di kota pelabuhan Gresik, Jåwå Timur, pada abad ke-15, Nyai Gedhé Pinatih, adalah ibu angkat Sunan Giri I atau Pandhitå Ratu Giri Satmåtå. Menurut hasil penelitian Chen Yu-song (Tan Yeok Seong), sinolog dari South Sea Society (Perhimpunan Laut Selatan) di Singapura, dia adalah satu dari tiga putri Shi Jin-qing (Shih Chin Ching), Cina muslim pemimpin Kukang (Chiu-chang, harfiah: Pelabuhan Lama, kini: Palembang).[1]

Jabatan“pemimpin” Shi Jin-qing ini dalam bahasa Inggris disebut overlord(harfiah: tuan besar, maharaja). Demikian hasil penelitian bibliografis MohammadGuntur Shah, S.Ag., lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Radèn Patah,Palémbang.[2]

Profesor KongYuan Zhi dari Universitas Peking (Beijing University) bahkan menyebutnya sebagaiputri sulung Shi Jin-qing. “Yang menarik pula ialah putri sulung Shi Jin-qingadalah Nyai Gedhé Pinatih. Dia terpaksa meninggalkan Palémbang akibat tekanan...saudaranya. Setelah tiba di Jåwå, gadis itu memohon bantuan kepada Raja Måjåpahit.Berkat simpati Sang Raja, dia diangkat sebagai syahbandar di pelabuhan Gresik.Kemudian Nyai Gedhé Pinatih terkenal sebagai penyebar agama Islam di Jåwå. Dananak angkatnya tak lain adalah Radèn Paku, salah satu Wali Sångå di Jåwå.”[3]

Agak berbeda sedikit, Guntur menulis bahwa jabatan syahbandar Gresik diwarisi oleh NyaiGedhé Pinatih dari Patih Sambojå, setelah suaminya itu meninggal. Patih Sambojåsendiri semula menjadi punggawa di Blambangan. Karena salah menjalani tugas, iadipecat. Ia kemudian menemui Raja Måjåpahit, menyatakan keinginannya untuk suwitå(Jåwå, harfiah: mengabdi). Ia diterima dan diangkat menjadi syahbandar dipelabuhan Gresik.[4]

Menurut ChenYu-song, Shi Jin-qing beranak laki-laki satu: Shih Chi-sun (Sie Tjie Soen) dantiga anak perempuan: Pi Na Ti, Shih Er Chih, dan istri Chiu Yan Chen. Setelahkematian Shih Chin Ching, kekuasaan di Palémbang dipegang oleh Shih Er Chih.Tentu saja, Shih Chi Sun yang didukung iparnya, Chiu Yan Chen, menentang. Iapun mencoba mendapatkan pengakuan sebagai penguasa yang sah dari Dinasti Ming,karena ia menganggap diri lebih berhak.[5]

Peranakan Cinå yang lahir di Semarang, Drs. Amen Budiman, menambahkan bahwa sumber sejarahdari masa Dinasti Ryukyu di wilayah Kepulauan Ryukyu menyatakan Shih Chin Chingmeninggal pada tahun 1421. Setelah itu, di kalangan keluarganya, terjadiperebutan kekuasaan.[6]

Untuk mengatasi kemelut itu, pada tahun 1422, Laksamana Cheng Ho, yang merasa  berkepentingan, memerlukan datang ke Palémbang.Tampaknya ia tidak berhasil memenuhi harapan Shih Chi Sun, karena Shih Er Chihbersikukuh mempertahankan kekuasaan. Setelah kejadian ini, Shih Chi Sun merasasangat kecewa dan tidak terdengar lagi kabar beritanya.[7]

Sementara itu, Pi Na Ti pindah ke Jåwå. Dalam cerita Jåwå, selain disebut Nyai Gedhé Pinatih,Pi Na Ti juga dikenal dengan nama Nyai Janda Sembojå, janda Patih Sambojå dariBlambangan.[8]


(0)   Penangkapan Perompak Chen Zhu-yi

MENURUT SEJARAHWAN sejarahwan Singapura Chen Yu-song, Shi Jin-qing diangkat oleh Måjåpahit untuk mengurusmasalah keagamaan dan administrasi di Palémbang, setelah runtuhnya Çriwijaya.[9]
Akan tetapi, komunitas perantau Cinå di sana pada akhir abad ke-14, tepatnya pada tahun1397,[10]lebih memilih Liang Dao-ming (Liang Tao-ming, Lian Tan Ming) sebagai pemimpinmereka. Hanya saja, Liang yang berasal dari Nan Hai (Guangdong atau Kanton) menunjukShi sebagai pembantunya yang utama.[11]Bahkan, Liang mengangkat Shi sebagai kepala keamanan pelabuhan itu pada tahun1405.[12]

“Di Palémbang,peristiwa penting yang menunjukkan bahwa pelabuhan itu telah dijaga agarsenantiasa aman ialah pengangkatan Shih Chin Ching oleh Liang Tao-ming untukmenjaga keamanan tempat tersebut sebelum ia berangkat ke Cinå. Pemimpinperompak di Palémbang, Ch’en Tsui-yi, tidak mengganggu kawasan ini, hingga selepas Liang Tao-ming bertolak ke Negeri Cinå pada tahun 1405.”[13]

Chen Zhu-yi(Tan Tjo Gi) itu Cinå non-muslim dari suku Hokkien, yang berasal dari Chao-zhou(Teochiu) di Provinsi Guangdong. Karena melanggar hukum di Cinå, ia melarikandiri bersama keluarganya ke Palémbang. Mula-mula ia bekerja pada RajaÇriwijaya. Setelah Sang Raja mangkat, ia mengerahkan bajak laut setempat danmengangkat diri sebagai gembongnya. Ia suka berbuat sewenang-wenang, antaralain merampok kapal niaga yang berlalu lalang di situ.[14]

“Pada kira-kiratahun 1405, kota Palémbang dan kota Jambi jatuh ke tangan... bajak laut Cinå.Palémbang disebut Kieu-Kiang (Pelabuhan Lama). Kapal dagang tidak banyak lagidatang ke situ dan kedua kota itu makin mundur,” tulis Sanusi Pané.[15]

Penduduksetempat dan pedagang dari luar daerah amat benci kepada gembong  bajak laut itu. Bukan hanya barang daganganyang dirampok, pedagang juga dibunuh di laut oleh Chen Zhu-yi. Bahkan, armada ZhengHe (Cheng Ho) yang datang pada tahun Yong Le kelima, 1407 M, dalam perjalananpulang, diincarnya pula. Chen main intrik. Ia akan pura-pura menyerah, padahalia berniat busuk merampas segala harta benda yang diangkutnya.[16]

Peristiwa inilah yang justru menjadikan Shi Jin-qing resmi menjadi pemimpin Kukang, baikdi mata komunitas etnis Cinå perantau di Palémbang, kerajaan Måjåpahit, maupunDinasti Ming.

“Shih ChinChing, (sebagai) pemerintah sah masa itu, berpeluang memberi tahu Cheng Hodalam perjalanan balik dari pelayarannya yang pertama, tentang gangguan itu sebelum(Sang Laksamana) sampai. Lanun tersebut dan pengikutnya ditumpas dalampertempuran pada tahun 1407 dan Shih dilantik sebagai ketua resmi kawasan tersebut,” tulis M. Guntur Shah dalam manuskripnya. “Chen Chu Yi... akhirnyadijatuhi hukuman pancung. Shih Chin Ching dianugerahi gelar Suan We Shih dariChiu-chang.”[17]

Dalam hal ini, CatatanTahun Melayu, kronik Cinå-Jåwå yang ditemukan Kelenteng Sam Po Kong diGedong Batu, Semarang, pada bagian Awal Ekspansi Cina menulis:

1407: Armada Tiongkok Dinasti Ming merebut Kukang (Palembang), yang sudahturun-temurun menjadi sarang perampok Tionghoa non-Islam dari Hokkien. Cen TsuYi, kepala perampok di Kukang, ditawan, dirantai, dan dibawa ke Peking. Disitu, ia mati dipancung di depan umum. Ini merupakan peringatan bagi orangTionghoa Hokkien di seluruh Nan Yang. Di Kukang, dibentuk komunitas Cinå muslimHanafi pertama di Kepulauan Indonesia. Tahun itu juga didirikan satu lagi diSambas, Kalimantan.[18]

Menurut pakarsejarah Indonesia asal Belanda, H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, tindakanCheng Ho dan eksekusi pemimpin perompak itu juga disebutkan dalam naskah CinåDaratan dan dalam kutipan W.P. Groeneveldt.[19]

Sejarahwan Cina daratan Liu Ru-zhong menulisnya secara rinci. “... bertemu dengan Zheng He,gembong bajak laut itu berpura-pura mengambil sikap bersahabat. Malamnya iamembawa beberapa kapal cepat untuk untuk menyerang armada Zheng He. Malam itumega mendung menggulung, angin ribut meniup dengan dahsyatnya, sehingga lautmenjadi gelap gulita. Ketika... kapal bajak laut mendekati armada... takkelihatan satu lampu pun yang menyala... Beberapa anak buah Chen curiga,jangan-jangan awak kapal Zheng He telah memasang perangkap. Tapi, Chen segeramemberanikan mereka dengan mengatakan bahwa awak kapal Zheng He sudah tidursemua dan inilah kesempatan yang terbaik untuk merampok.”

“Namun, ketika...kapal bajak laut itu sudah amat mendekat, meluncurlah serentak peluru meriamdari armada. Dalam sekejap mata, lidah api menjilat dan asap peluru menjalar.Bajak laut menjadi kalang kabut dan banyak di antaranya terjatuh ke laut...Sisanya berebutan melarikan diri dalam kepanikan, akan tetapi mereka segeradibuat mati kutu oleh kepungan awak armada Zheng He dengan menjunjung obor ditangannya. Gembong bajak laut Chen pun ditawan seketika itu juga.”[20]

Bahkan, MingShi Lu (Catatan Sejarah Dinasti Ming) Jilid 71 mencatat bahwa Zheng Heberhasil membasmi bajak laut Chen lebih dari 5.000 orang, membakar habis 10kapal, merebut tujuh kapal, dan menyita dua setempel Chen yang terbuat dariperunggu. Chen Zhu-yi sendiri dan dua kawanannya digiring ke Cinå dan dihukummati. “Dengan gelar Xuan Wei Shi, Shi Jin-qing menjadi pemimpin perantau Cinåyang sah di Palémbang dan menurut Ming Shi Jilid 324, Shi Jin-qing tetaptunduk kepada Måjåpahit di Jåwå, meskipun menerima anugerah dari Kaisar Ming,”tulis Profesor Kong.[21]


(Gus Moen)


Catatan Kaki:

[1]       Mohammad Guntur Shah, S.Ag., dan MartinMoentadhim S.M. (editor), Sit-Lam: Sejarah Cina-Islam di Indonesia,manuskrip, Sanggar Jangka Langit, Bekasi, Januari 2004, halaman 109, denganmengutip hasilpenelitian Tan Yeok Seong, sinolog dari South Sea Society (PerhimpunanLaut Selatan) di Singapura.
[2]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 237.
[3]       Profesor Madya Kong Yuan Zhi, Sam PoKong dan Indonesia, tanpa penerbit, Jakarta, cetakan pertama, September1992, halaman 62, dengan mengutip Li Xue-min dan Huang Kun-zhang, SejarahPerantau Cina di Indonesia, Penerbitan Pendidikan Perguruan TinggiGuangdong, 1987, halaman 61. Buku Profesor Kong ini disunting oleh Prof.Dr.H.M. Hembing Wijayakusuma, Ph.D., dan diterbitkan oleh Hj. Sri LestariMasagung.
[4]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 237.
[5]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 109.
[6]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 109, dengan mengutip Drs. AmenBudiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid I, Tanjung Sari, Semarang, 1978,halaman 29-30.
[7]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 109.
[8]       M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 109.
[9]       Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 61, yang juga mengutip hasil penelitian sejarahwan SingapuraChen Yu-song.
[10]      Angka tahun ini diambil dari M. Guntur Shahdan M. Moentadhim S.M. (ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 104.
[11]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 61.
[12]      M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 104.
[13]      M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 104-105, dengan mengutip O.W.Wolters, op.cit., 1990, halaman 82-83.
[14]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 59-60.
[15]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September 1992,halaman 60, dengan mengutip Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, I, BalaiPustaka, Jakarta, cetakan keempat, 1950, halaman 106.
[16]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 60.
[17]      M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 107, dengan mengutip O.W. Wolters,Kejatuhan Srivijaya dalam Sejarah Melayu, penerjemah Toh Kim Hui danRanjeet Kaur Khaira, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia,Kuala Lumpur, cetakan pertama, 1990, halaman 83.
[18]     M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M. (ed.),op.cit., Januari 2004, halaman 108.
[19]      M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M.(ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 108, dengan mengutip H.J. deGraaf  dan Th.G.Th. Pigeaud, CinaMuslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, pengantarM.C. Ricklefs, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1998, halaman 55, yangbersumberkan W.P. Groeneveldt, Note on the Malay Archipelago and Malaca,..., dalam Miscellaneous Papers Relating to Indo-China, 2nd series,1987, Volume I.
[20]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 60-61, dengan mengutip Liu Ru-zhong, Zheng He Berlayar keSamudra Barat, Toko Buku Tionghoa, Beijing, 1983, halaman 15-16.
[21]      Kong Yuan Zhi, op.cit., September1992, halaman 61, dengan mengutip Ming Shi Lu Jilid 71 dan Ming ShiJilid 324.

Syekh Subakir Versi Slamet Moentadhim

Oleh:
Slamet Moentadhim


SIAPAKAH WALI YANG tidak hanya dikaitkan dengan mitos penanaman “bibit” manusia di Tanah Jåwå, melainkan juga masuk senarai Walisångå angkatan pertama dan berusaha mengislamkan Raja Småråtunggå yang membangun candi Båråbudhur? Ia termasyhur dari zaman ke zaman dan dari generasi ke generasi hingga kini sebagai Syèkh Subakir.

“Di antara kemungkinan… raja di Jåwå yang sudah masuk Islam… adalah Raja Småråtunggå (k. 800--825 M) pada era Kerajaan Mataram Kuna (tepatnya: Medang Mataram, GM) di Jåwå Tengah sesudah Piagam Canggal tahun 732 M, yang berdialog dengan Syèkh Subakir,” begitu ditulis oleh Kiai Haji (K.H.) Muhammad Sholikhin. Pada catatan kaki, ia menambahkan “(Pada) tahun 820 M, Raja Småråtunggå membangun candi terbesar, Båråbudhur. Tampaknya kedatangan Syèkh Subakir dan kontaknya dengan Sang Raja terjadi pada… masa akhir pemerintahan Raja Småråtunggå.”[1]

Sayang, hanya satu alinea itu plus catatan kaki tersebut yang ditulisnya. Bahkan, ia sama sekali tidak menyebutkan sumbernya. Tampaknya Sang Kiai benar-benar hanya menyodorkan kemungkinan. Memang, secara logika tidaklah mungkin raja yang membangun sarana ritual keagamaan yang begitu besar seperti Båråbudhur pernah memikirkan kemungkinan meninggalkan kepercayaannya untuk merengkuh agama baru.

Di ranah literatur, misalnya di Tatar Sundå, nama Småråtunggå muncul dipersamakan dengan Rakè Garung (k. 794--820 M), måhåråjå Mataram Purbå. Småråtunggå ini ayah yogini Pramodåwardani (k. 820--842 M), istri Rakè Pikatan (k. 842--856 M). “Kaisar” yang terakhir ini mertua Dyah Lokåpålå Rakai Kayuwangi (k. 856--886 M).[2]

Akan tetapi, ini tak sesuai dengan senarai dalam Prasasti Wanua Tengah III 830 Ç (908 M) yang ditemukan petani di sawah Dukuh Dunglo, Desa Gandulan, Kecamatan Kaloran, Kabupatèn Temanggung, Jåwå Tengah, pada bulan November 1983. Prasasti dua lempeng tembaga 53,5x23cm2 bertulisan Jåwå Kuno ini memang mengubah catatan sejarah.[3]

Daftar raja dalam Prasasti Wanua Tengah III dimulai dengan pendiri Mataram Purbå, Rahyangta ri Medang, yang dalam Prasasti tembaga Mantyasih 829 Ç (907 M) disebut Rakai Mataram Sang Ratu Sanjåyå atau Rahyangta Rumuhun ri Medhang ri Poh Pitu. Kedua prasasti ini peninggalan Rakai Watukurå Dyah Balitung.

Senarai raja dan tahun pelantikannya itu berlanjut dengan nama Rakai Panangkaran (746 M), Rakai Panaraban (784 M), Rakai Warak Dyah Manårå (803 M), Dyah Gulå (827 M), Rakai Garung (828 M), Rakai Pikatan Dyah Saladu (846 M), Rakai Kayuwangi Dyah Lokåpålå (855 M), Dyah Tagwas (885 M), Rakai Panumwangan Dyah Déwåndrå (885 M), Rakai Gurunwangi Dyah Bådrå (886 M), Rakai Wungkai Dyah Jobang (894 M), dan Rakai Watukurå Dyah Balitung Sri Iswåråkesåwåtunggåréndråmurti (898 M), yang mendirikan kerajaan baru, Balitung.

Apa yang salah pada penulis sastra kuna kita, sehingga kesalahan ini terjadi, mengingat prasasti lebih valid (sahih) dari karya tulis. Yang teraba hanyalah tradisi tulis baru datang kemudian setelah tradisi lisan. Dengan kata lain, karya sastra yang didasarkan pada fakta sejarah baru ditulis beberapa abad setelah peristiwa terjadi, berdasarkan ingatan yang tertinggal melalui tradisi lisan.

Akan halnya Syèkh Subakir, wali yang berasal dari Persia (kini: Iran) itu,[4] konon, datang untuk berdakwah di Tanah Jåwå pada tahun 808 H (1404 M), bersama delapan Walisångå periode pertama yang lain atas perintah Sultan Muhammad I dari Turki. Begitu, lagi-lagi konon, menurut Kanzul ‘Ulum karya Ibnu Bathuthåh (h. 1304--1378),[5] yang penulisannya diteruskan oleh Mawlana Muhammad Al-Magråbi.

Setiba di Jåwå, mereka berbagi tugas. Syèkh Subakir berkeliling, menumbali tempat angker. Ia memilih tanah yang bagus untuk dijadikan pesantren. Padahal, lahan itu ditempati jin yang cenderung menyesatkan manusia. Syèkh Subakir membuat tumbal dari batu.[6] Setelah banyak tempat ditumbali, ia pulang ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana.

Membuat tumbal dari batu? Agak sulit menjawab pertanyaan ini. Tradisi agåmå Adam ajaran Samin Suråsentikå (h. 1859--1914), yang hidup di Blora, tetapi pengaruhnya merebak hingga Pati, Bojonegoro, dan Madiun, misalnya, justru mewariskan do’a Nabi Zakaria dalam hal mencari lahan yang baik untuk ditempati. Doa’ ini diselipkannya dalam buku pandom (pedoman) kehidupan yang diwariskannya, Serat Lampahing Urip.

“Bila tanah berwarna hitam, berbau amis, singkiri saja, tak bisa dihuni. Ini do’a Nabi Zakaria untuk menumbali tanah. Saratnya garam segenggam, do’anya dibaca tujuh kali, garam ditaburkan ke kiri, puasa sehari semalam atau sehari. Insya-Ållåh ta’ala, tidak kekurangan. Ini do’anya: Ållåhumma ma’alaihi nasirun. Anna firqun firqun qådirun, minnu ya Ållåh ya råbbal ‘alamin, waya khåirun nashirin, biråhmatika ya arham ar-råhimin.”[7]

Begitu sedikit diceritakan orang tentang Syèkh Subakir. Kalaupun ada yang tertulis, seperti yang telah diceritakan di atas, kisahnya bercampur dengan mitos dan legenda. Lebih parah dari itu, kedatangannya dikaitkan dengan penempatan pertama “bibit” manusia di Tanah Jåwå,[8] yang terjadi pada paro kedua abad pertama Masèhi atau menjelang awal tahun Çåkå.

Padahal, mayoritas orang Jåwå tahu, terjadinya tahun Çåkå berkaitan dengan kedatangan Aji Çåkå dari Pallawa di India selatan. Ia mengalahkan raja raksasa Déwåtå Cengkar, yang konon suka memakan manusia rakyatnya sendiri. Aji Çåkå lalu bertakhta di kerajaan Medang Kamulan itu, menetapkan hari kedatangannya sebagai awal tahun Çåkå, menyebarkan agama Hindu, dan menciptakan huruf Jåwå.[9]

Versi kuna asal-usul manusia Tanah Jåwå yang bersifat bellum omnium contra omnes (perang pemusnahan jenis manusia yang satu oleh yang lain), bukan evolusi (perubahan pelan-pelan dari kera) seperti yang diduga oleh ilmuwan Inggris Charles Robert Darwin (h. 1809--1882), diceritakan oleh sejarahwan Cirebon, Pangéran Wångsåkertå (w. 1713) dan Pangéran Sulaéman (P.S.) Sulèndråningrat.

Versi lain dari “penanaman” manusia di Tanah Jåwå malahan melibatkan Radèn Ngusman Haji dari Bani Isråil.[10] Dongeng yang banyak diceritakan orang di wilayah Madiun dan Yogyåkartå ini sangat boleh jadi berasal dari serat Paråmåyogå tulisan Radèn Mas Ngabèhi (R.M.Ng.) Rånggåwarsitå (h. 1802--1873) yang baru “terbit”di Suråkartå pada tahun 1884.

Padahal, banyak sumber lain menyatakan Radèn ‘Utsman Haji itu tak lain dari Sunan Ngudhung, ayah Sunan Kudus II.
Yang pasti, baik Wångsåkertå, Sulèndråningrat, maupun Rånggåwarsitå menggunakan sumber yang sama: Jitapsårå karya Begawan Pålåsårå, yang mengutip Puståkå Daryå asal Tanah Hindustan, serta Miladuniren asal Najran, Silsilatul Guyub asal Sailan, Musarår, dan Jus al-Gubet asal Tanah Rum (-Asia) alias Turki.[11]


(1)       Syèkh Subakir versus Semar dan Togog[12]

BERIKUT INI kisah Syèkh Subakir “menanam” manusia di dan menumbali Tanah Jåwå yang ditulis oleh Pangéran Sulaéman (P.S.) Sulèndråningrat, guru Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon.[13]

“… Pada suatu malam… Raja dari Rum Asia, yakni Turki, dalam mimpinya dapat ilham perintah dari Illahi agar Pulau Jåwå diisi dengan manusia. Pada esok harinya, ia memanggil patihnya dan… menyelenggarakan pengumpulan 20.000 orang untuk diberangkatkan ke Pulau Jåwå dengan kapal layar. … manusia pertama itu… tertumpas… oleh siluman. … hanya tersisa 40 orang… lari ke negeri Turki dan menghadap Raja….”

Raja pun memanggil Syèkh Subakir, memerintahkan kepadanya agar bersama Sang Patih mengambil 20.000 orang Keling untuk dimukimkan di Jåwå. Mereka berlabuh di Tanah Jåwå pada tahun 1 Jåwå, yang menurut naskahnya sama dengan tahun 87 Masèhi.[14]

“Kemudian Syèkh Subakir menuju Gunung Tidar. Di puncaknya, ia menanam tumbal. Demikian pula di tiap-tiap gunung lain. … ternyatalah keampuhan tumbal… terjadilah hujan, angin ribut besar, menggelegar suaranya, gunung runtuh, kilat, geledek, guruh mengobrak-abrik, bersahut-sahutan, mendung gelap gulita meliputi Pulau Jåwå.”

“… geger panik seluruh lelembut, jin, setan, banaspati, ilu-ilu, janggitan, kemangmang, wéwé gombèl, iprit, dan kebanyakan merkayangan lari tunggang langgang menuju ke laut, sedangkan gendruwo pada bubar, banyak siluman… mengosongkan Pulau Jåwå. … ketuanya ialah Sanghyang Semar dan Sanghyang Togog yang berdedukuh di hutan Gunung Merbabu.”

“Sanghyang Semar memberitahu, ‘… ada pendeta dari Rum Turki telah datang di Pulau Jåwå untuk merusak dedemit dengan tumbal… yang ditanam di puncak gunung… Mari kita lihat, kita jumpai Sang Pandhitå utusan Raja Rum yang menenung… merusak brakasakan/merkayangan. Semua dedemit Nuså Jåwå ketakutan dan gègèr.’ … Kemudian sampai mereka ke tempat Syèkh Subakir dan bertemu di Gunung Tidar.”

Mereka bertegur sapa. Sang Pandhitå berkata pula, “Menurut kabar, di Pulau Jåwå, belum ada manusia, masih kosong, dan masih berhutan besar belaka.”

Sanghyang Semar berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang Jåwå dari zaman kuno, lama sebelum Tuan datang, menetap di… puncak gunung, sudah sembilan ribu tahun lamanya (sejak Sanghyang Wenang, mengingat Bathårå Semar adalah… titisan… Sanghyang Wenang), juga di Gunung Tidhar, kami punya padépokan sudah selama seribu tahun lebih hingga sekarang.”

Syèkh Subakir heran. “Kalian ini orang apa. Betulkah kalian manusia, karena umurmu… kelewatan. Saya belum melihat ada orang berumur sepuluh ribu tahun. Nabi Adam berusia panjang, tapi cuma seribu tahun. Anda itu, Kaki, harap berterus terang kepadaku, kalian bukan manusia, karena umurmu kelewatan berlebih-lebihan amat sangat panjang sekali. Kalau manusia, belum ada yang berumur sepuluh ribu tahun.”

Sanghyang Semar pun menjawab, “Sesungguhnya, aku ini… bukan manusia, Raja Dahyang (Jan) Tanah Jåwå, aku… Dahyang Sepuh, titisan dari Jengkåwå Dèwi (Babu Håwå) yang berdosa. Nama Manikmåyå adalah aku. Sanghyang Nurcahyå ialah aku. Sanghyang Wenang ialah aku. Sanghyang Srigati ialah aku. Wargutåmå ialah aku. Råjå Jåyåkusumå, Ki Jåkå Pandhak, Sanghyang Ismåyå ialah aku, pula adalah aku yang bernama Sanghyang Semar. Pada zaman purba kuna, sejak ibuku dahulu mengeluarkan benihnya, yang… telah diambil Idajil, kemudian akhirnya menjelma jadi aku. Inilah proses kejadian dari… aku… para dewa itu semua darahku. Juga semua dahyang di tanah seberang dan Jåwå itu adalah turunanku, beserta seluruh lelembut adalah cucuku. Jin, iprit, seluruh dedemit, ilu-ilu, gendruwo, bergola, dan lain-lain juga adalah cucuku. Adapun kakak ini adalah titisan Siti Sundari, lahirnya masih sekeluarga denganku. Kami berdua berdedukuh di Jåwå. Kami berdua datang menjumpai Tuan di sini, mohon tanya kepada Tuan dengan sesungguhnya, apa sebabnya Tuan datang merusak negara. Seluruh anak cucuku pada ketakutan oleh tenung… Tuan yang ampuh. Mereka semua wadyå lelembut mengungsi ke laut.”

Syèkh Subakir menjawab, “Saya ini, Kaki, diutus oleh Raja Rum. Saya diperintah untuk mengisikan manusia di Pulau Jåwå ini, agar berkembang biak membuka hutan. Yang saya isikan ini adalah orang dari Keling, ... 20.000 orang, lelaki dan perempuan. Ini adalah karya Hyang Widi, kalian tidak boleh menghalang-halanginya.”

Sanghyang Semar berkata, “Syukur setuju beribu setuju, kalau kehendak Raja Rum itu adalah perintah Hyang Widi, diperintah ke Pulau Jåwa, agar membuka hutan. Hanya aku mohon, turunanku supaya diperbolehkan turut menetap di Pulau Jåwå.”

Itulah kisah yang ditulis oleh Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, yang sebetulnya secara turun-temurun didongengkan dari mulut ke mulut di hampir semua wilayah orang berbicara dalam bahasa Jåwå. Bagian mana yang benar dari kisah ini? Wållåhu a’lam bish-shåwwab.


(2)       Serat Sèh Subakir dan Petilasannya

KISAH SERUPA ditulis orang menjadi Serat Sèh Subakir dalam huruf Jåwå, yang menilik jenis kertasnya, mungkin dibuat pada dasawarsa 1930-an. Naskah kitab ini ditemukan dan disimpan orang di Gandusari, Kabupatèn Blitar, Jåwå Timur. Jilidannya sudah copot. Sebagian lembarannya hilang. Separo halaman tulisan pada naskah sisanya sudah luntur terkena air.[15]

Dibanding naskah Cirebon, ada perbedaan tentang asal manusia yang ditanam, yakni bukan orang Keling, melainkan orang Arab. Kisah dalam Serat Sèh Subakir itu lalu berlanjut ke sejarah keraton di Jåwå mulai dari Medang Kamulan hingga Mataram.

Masih di Kabupatèn Blitar, 11 kilometer dari kota ke utara, tepatnya di Kecamatan Nglegok, ada petilasan yang dianggap dan dihias seperti makam Syèkh Subakir. Letaknya masih di dalam kompleks candi Penataran, tetapi di sebelah utaranya.
Petilasan ini, yang hanya salah satu dari banyak maqåm wali itu di seantero Jåwå Timur dan Jåwå Tengah, serta masjid dan halamannya yang menyatu, diperbaiki bersamaan dengan pemugaran candi Penataran pada era Bupati Siswanto Adi. Yang masih asli mungkin tinggal batu tempat Syèkh Subakir bersujud saat bersembahyang.

Anda mau tawasulan ngalap berkah di sana? Silakan, maqåm itu memang kian rutin dikunjungi orang untuk tawasul serta membaca surat Yasin dan tahlil.

(Gus Moen)


Catatan Kaki:

[1]       K.H. Muhammad Sholikhin, Manunggaling Kawulå-Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syèkh Siti Jenar, Penerbit Narasi, Yogyåkartå, cetakan pertama, 2008, halaman 58, 58 catatan kaki 5.

[2]       Yongki Y., Menyingkap Misteri Ratu Laut Selatan: Banyu Bening Gelang Kencånå, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, cetakan pertama, 2003, halaman 508. Sayang, buku ini sama sekali tidak menyebut sumber penulisannya.

[3]       Lebih jauh mengenai pembicaraan ini, baca Djoko N. Witjaksono, Menuliskan Kembali Sejarah Mataram (Kuno): Beberapa Prasasti yang Mengubah Jalannya Penulisan Sejarah, katalog Pameran Keliling Budaya Tulis dan Benda Cagar Budaya di Jåwå Tengah di Blora, 5--9 Mei 2004, Museum Jåwå Tengah Ronggowarsito dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jåwå Tengah, Semarang dan Prambanan, halaman 6--14.

[4]       K.H. Dachlan Abdul Qohar, Wali Sångå, dalam Ibrohim Ghozi, Kenang-kenangan Haul Agung Sunan Ampèl Ke-539, Panitia Haul Agung Sunan Ampèl, Suråbåyå, 1989, halaman 12.

[5]       Abu Abdullåh Muhammad Ibn Bathuthåh (h. 704--780 H/1304--1378 M) itu pengembara bangsa Arab yang lahir di Tangiers, Aljazair, dan mulai mengembara pada usia 21 tahun dan baru kembali 24 tahun kemudian, lalu berangkat lagi ke Spanyol dan lalu ke Timbuktu dan Nigeria. Pada masa akhir hidupnya, ia menulis kisah perjalanannya, Tuhfatal-Nuzzarfi Gharå’ib al-Amshår wa’ajaib al-Ashfar. Ini karyanya yang pertama, belakangan di Aljazair ditemukan naskah yang lebih lengkap. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (The Concise Encyclopaedia of Islam), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Desember 1996, terjemahan Ghufron A. Mas'adi, halaman 146--147.

[6]       Dachlan A.Q., op.cit., dalam Ibrohim Ghozi, op.cit., 1989, halaman 22.

[7]       Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Penerbit Citra Almamater, Semarang, cetakan pertama, 1996, halaman 31--32, dengan mengutip Samin Suråsentikå, Serat Lampahing Urip.

[8]       Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, Beralihnya Pulau Jåwå dari Agama Sanghiyang kepada Agama Islam, diktat, Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon, Cirebon, 1978, dalam Drs. Yoseph Iskandar, Drs. Dedi Kusnadi Aswin, R. Soenarto Martaatmadja, S.E., Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta H. Gozali Sumarta Winata dan Hj. Mutiah Siti Wulandari (editors), Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 97--101.

[9]       Kisah ini saya dengar sebagai dongeng ketika saya masih sekolah di Taman Kanak-Kanak Perwari, Blora, dan kemudian saya dengar lagi dari guru saya, Bambang Soenaryo Kayoenpoetra, di Sekolah Rakyat (SR) Negeri No. 2, nJethis, desa tempat saya lahir. Pak Bambang adalah wartawan (foto) pertama di Blora yang bekerja untuk harian Suara Merdeka yang terbit di Semarang.

[10]     Prof. Dr. Hasanu Simon, Misteri Syèkh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jåwå, Pustaka Pelajar, Yogyåkartå, cetakan pertama, September 2004, halaman 13.

[11]     Otto Sukatno Cr. (penerjemah), Paråmåyogå Ronggowarsito: Mitos Asal-Usul Manusia Jåwå, Yayasan Bentang Budaya, Yogyåkartå, cetakan pertama, Oktober 2001, halaman 1 dan P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 105.

[12]     Kisah ini saya dengar pertama kali ketika saya disunat pada kelas 4 SD Negeri 2 (mBalun) Cepu kira-kira pada tahun 1964. Pada malam setelah saya disunat, Bapak --mungkin bersama kakak kelasnya di Pesantren Raudlåt al-Thålibin, Rembang, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) K.H. Bisri Mustofa-- membacakan naskah mitos Syèkh Subakir tawar-menawar di Gunung Tidar dengan Semar dan Togog, minta izin untuk "menanam" manusia di Tanah Jåwå. Saya tidak tahu naskah berhuruf Arab pegon apa yang dibacakan oleh Bapak saat itu. Bapak hanya menyebutnya Jåyåbåyå Syèkh Subakir. Berbilang tahun kemudian, tepatnya pada hari Senin 19 Maret 2001, di Teluk Angsan Permai, Bekasi Jaya, tempat rentetan kisah yang sekarang salah satu bagiannya Anda baca ini mulai ditulis, barulah saya mendapatkan buku yang diterbitkan oleh bukan penerbit resmi itu yang membicarakan karya sejarahwan Cirebon abad ke-17, Pangéran Wångsåkertå (w. 1713), yang menceritakan kisah yang sama.

[13]     P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 97--101.

[14]     Inilah keanehan naskah Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, selisih tahun Jåwå dan tahun Masèhi itu 87 tahun, bukan 78 tahun sebagaimana lazimnya. Menurut dia, tahun Jåwå baru disebut tahun Çåkå kurang lebih pada 700 M dan bahwa Sultan Agung mengubah perbedaan tahun itu dari 87 tahun ke 78 tahun. P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 101.

[15]     Agus Prasmono, Petilasan Sèh Subakir ing Penataran Salah Kaprah Dikirå Pesaréyan, dalam majalah Mingguan Kulåwargå Båså Jåwå, Jåyå Båyå, Suråbåyå, No. 49/LIX, Minggu I (7--13) Agustus 2005, halaman 14--15.

Syekh Quro Perspektif Manuskrip Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari

MUSLIM CINÅ ASAL Cempå yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jåwå, Syaikh Hasan al-Din (baca: Hasanuddin), penganut madzhab Hanafi[1], tiba di Purå Dalem, Karawang, Jåwå Barat, pada tahun 1416 M, demikian dikisahkan dalam manuskrip Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari.[2] Ia putra Syèkh Yusuf Siddik.[3] Sayang, hingga naskah ini rampung tersusun, hanya didapatkan data bahwa Syèkh Yusuf Siddik itu “masih ada garis… turunan dengan Syèkh Jamaluddin serta Syèkh Jalaluddin, ulama besar Makkah.”[4]

Pangéran Aryå Carbon menulis Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari di Cirebon pada tahun 1720 M, berdasarkan karya Pangéran Wångsåkertå, Puståkå Nagårå Kretåbhumi, yang dirangkum pada tahun 1694--1695, dengan bahan antara lain karya Mpu Prapåncå: Kåthå Puståkå Desåwarnnånå,[5] yang Anda lebih mengenalnya sebagai Nagårå Kertagåmå.

Aryå Carbon mulai mengetuai Jaksa Pepitu pada tahun 1681. Dalam Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari, dipaparkan riwayat berdirinya Keraton Cirebon dan beberapa kisah lain, termasuk cerita pembangunan permukiman Islam pertama di Jåwå Barat.[6]

Syaikh Hasan datang bersama anaknya: Syèkh Bantong alias Tan Go-hwat, yang kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari istrinya, Siu Te-yo, Syèkh Bantong memperoleh anak perempuan, Siu Ban-ci, yang diperistri oleh Prabu Bråwijåyå V Kertåbhumi. Dari perkawinan ini, lahirlah Pangéran Jin-bun atau Radèn Pråbå alias Radèn Patah, raja pertama Kesultanan Demak-Bintårå.[7]

Karena mengajar orang mengaji Al-Qurän, penduduk setempat memanggil Syaikh Hasan al-Din itu Syèkh Qurå dan pusat pengembangan agama Islam yang didirikannya disebut Pondok Qurå Purå Dalem.[8] Dengan menyebut namanya Syèkh Quråtul-‘Ain Pulobata, ada yang menulis bahwa pesantren ini didirikannya pada tahun 1428.[9]

Syèkh Qurå menikah lagi dengan Ratna Sondari, anak Ki Ageng Karawang. Dari perkawinan ini, lahir Syaikh Ahmad yang menjadi penghulu pertama Karawang. Putri Ahmad, Nyai Mas Kedhaton, melahirkan Musanuddin, yang kelak menjadi lebè Cirebon dan memimpin Masjid Sang Ciptå Råså pada masa Sunan Gunung Jati. Lebè Musa inilah yang disebut Lebè Gusa oleh Tomé Pires.[10]


(1)  Naik Kapal Cheng Ho

SYÈKH QURÅ datang di Karawang dari Cempå menumpang kapal angkatan laut Cinå, yang mengadakan perjalanan keliling atas perintah Kaisar Cheng Tsu atau Yung Lo, raja ketiga Dinasti Ming. Armada yang sedang dalam pelayaran ke Måjåpahit ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) alias Sam-Po-Tay-Kam yang beragama Islam, sedangkan juru tulisnya: Ma Huan.[11]

Karena itu, angka tahun 1416 yang ditulis dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari harus disesuaikan. Menurut Dr.(H.C.) Uka Tjandrasasmita, mungkin peristiwa itu berhubungan dengan ekspedisi Cheng Ho pada tahun 1413--1415, seperti diceritakan oleh Ma Huan, penulis dan penerjemahnya. Pada pelayaran keempat tersebut, tempat yang amat penting antara lain Cempå, Jåwå, Palémbang, Malåkå, Samudrå, Ceylon (Sri Lanka), dan Kalikut (Kalkuta), serta Hormuz.[12]

J.V.G. Mills menduga jalan yang dipakai Cheng Ho dari Suråbåyå ke Palémbang (Chiu-chang, Kukang) melalui Selat Bangka (Peng-chia). Untuk mencapai tempat itu, ia mungkin melalui pesisir utara Jåwå ke arah barat melalui Demak (Tanmu), Pekalongan (Wueh), Cirebon (Che-li-wen), dan Sundå Kelåpå (Chia-lu-pa). Kemudian, ia melintasi Lampung (Lam-pan) di Sumatera dan berlayar sepanjang pesisir ke arah utara lewat muara Wai Tulang Bawang (Tu-lu-pa-wang).[13]

Dikatakan pula bahwa, meskipun di antara tempat penting itu, Cirebon (Che-li-wen) disebut-sebut, namun Ma Huan tidak menceritakan kegiatan apa pun oleh orang Cinå yang dipimpin Cheng Ho tersebut. Ekspedisi tahun 1413--1415 itu menelusuri pesisir utara dari Suråbåyå ke Palémbang, lewat Cirebon dan Sundå Kelåpå.[14]

Menurut Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari, armada Cheng Ho terdiri atas 63 kapal, dengan prajurit 27.800 orang. Tujuannya yang utama ialah menjalin persahabatan dengan raja tetangga di seberang lautan. Setelah Syèkh Qurå dan anaknya turun di Karawang, armada itu melanjutkan perjalanannya ke timur dan singgah seminggu di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.[15]

Dibandingkan dengan catatan Ma Huan dalam bukunya, Ying Yai Seng Lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudra), ini berarti berlawanan arah. Buku ini ditulis pada tahun 1451. Orang Hui yang berasal dari Kabupatèn Hui Ji (kini: Shao Xing) ini muslim yang pandai berbahasa Arab. Sebagai penerjemah, Ma Huan ikut dalam pelayaran keempat, keenam (1421--1422), dan ketujuh (1431--1433).[16]


(2)  Nyai Subang Larang

SALAH SATU murid Syèkh Qurå ialah dara jelita Nyai Subang Larang,[17] yang lahir pada tahun 1404 M sebagai putri Mangkubumi Mertåsingå Ki Ageng Tåpå. Ketika berangkatbaligh pada usia 14 tahun, dia diajak oleh bibinya ke Malåkå. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Jåwå dan berguru kepada Syèkh Qurå selama kurang lebih dua tahun.[18]

Selesai nyantri, jelita Mertåsingå itu dipersunting oleh Radèn (Pa)manah Råså, raja muda di Sumedang Larang, yang bergelar Prabu Naléndra Pujå Premånå atau Rajasunu. Saat itu, Pajajaran sedang dalam masa perwalian oleh pamannya, Prabu Susuk Tunggal. Dari perkawinan ini, lahir:

  • Pangéran Walang Sungsang pada tahun 1424 M,
  • Nyai Lårå Santang pada tahun 1427 M,[19] dan
  • Råjå Sengårå.[20]

Radèn Manah Råså diangkat menjadi raja Pajajaran dengan gelar Sri Badugå Måhåråjå Ratu Purånå Prabu Guru Déwåtåsrånå (k. 1425--1513). Penganugerahan gelar ini dilakukan oleh kakeknya, Prabu Niskålå Wastu Kencånå, raja Galuh. Keratonnya dinamakan Sang Bimå Untråyånå Madurå Surådipati.[21]

(Sambungannya masih diriset --Gus Moen)


Catatan Kaki Rujukan:

[1]      Paham hukum ini diajarkan oleh Imam Abu Hanifah. Namanya yang sesungguhnya ialah Nu’am bin Tsabit bin Zauthå bin Mah. Ia bangsa Ajam keturunan bangsa Parsi yang bermukim di Afghånistan. Orang tuanya pindah ke Iraq. Ia dilahirkan pada tahun 80 H (669 M) di kota Kufah pada masa pemerintahan Islam dipegang oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan, raja Bani Ummayah. Drs. Yoseph Iskandar, Drs. Dedi Kusnadi Aswin, R. Soenarto Martaatmadja, S.E., Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta H. Gozali Sumarta Winata dan Hj. Mutiah Siti Wulandari (editors), Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga, Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 70.

[2]      T.D. Sudjana, Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, dalam Susanto Zuhdi (penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, cetakan pertama, 1996, cetakan kedua 1997, halaman 212, dengan mengutip Atja (editor), Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon),Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972.

[3]      Drs. Adeng, Dra. Wiwi Kuswiah, Drs. Herry Wiryono, Drs. Heru Erwantoro, dan Drs. Supratikno Rahardjo, M.Hum., (ed.), Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (PIDSN), Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi I, 1998, halaman 21, dengan mengutip
  • Masyhuri, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid IV, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, halaman 150,
  • Atja (ed. dan penerj.), Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sejarah Muladjadi Tjirebon), Seri Monografi No. 5, Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972, halaman 3, dan
  • Toguh Asmar, d.k.k., Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1975, halaman 88.

[4]      Anonim, “Syekh Quro”, 4 September 2008.03:51, sebagaimana dikutip oleh Anonim1, “Syekh Jumadil-Kubro,” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/, 5 Desember 2011.

[5]      Naskah ini telah dialihaksara menjadi dua jilid oleh Saleh Danasasmita dari huruf Purwå Jåwå. Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.),op.cit., Mei 2000, halaman 178, 24.

[6]      Mohammad Guntur Shah, S.Ag., dan Martin Moentadhim S.M. (editor), Sit-Lam: Sejarah Cina-Islam di Indonesia, manuskrip, Sanggar Jangka Langit, Bekasi, Januari 2004, halaman 211, catatan kaki 2.

[7]      T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[8]      T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 213.

[9]      Anonim, op.cit., 4 September 2008, sebagaimana dikutip oleh Anonim1, op.cit., dalamhttp://ahmadsamantho.wordpress.com/, 5 Desember 2011.

[10]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 213.

[11]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[12]     M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M. (ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 213, dengan mengutip Uka Tjandrasasmita, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 57.

[13]     Ibid., dengan menyitir J.V.G. Mills, Ma Huan, Ying-Yai Sheng-Lan, The Overall Survey of The Ocean's Shores, 1433, Cambridge University Press for The Hakluyt Society, London, Extra Series No. XLII, 1970, halaman 35.

[14]     Ibid.

[15]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[16]     Profesor Madya Kong Yuan Zhi, Sam Po Kong dan Indonesia, tanpa penerbit, Jakarta, cetakan pertama, September 1992, halaman 128, 132--133. Buku ini disunting oleh Prof. Dr. H.M. Hembing Wijayakusuma, Ph.D., dan diterbitkan oleh Hj. Sri Lestari Masagung.

[17]     Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 70, 76,

[18]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.

[19]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.

[20]     Adeng, Wiwi Kuswiah, Herry Wiryono, Heru Erwantoro, dan Supratikno Rahardjo (ed.), op.cit., 1998, halaman 21.

[21]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.

Fathimah Binti Maimun, Syarifah Tertua di Nusantara

Ditulis oleh:

BUKTI TERTUA HURUF Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di makam di Desa Leran, delapan kilometer utara kota Gresik, Jawa Timur.[1] Huruf itu, yang terdapat pada nisan Fathimah binti Maimun bin Hibat Allah, semula dibaca bahwa dia wafat pada tanggal 7 Rabi’ al-Awwal 495 Hijriyah atau 1102 Miladiyah.

Demikian hasil pembacaan oleh J.P. Moquette[2] yang diumumkan pada tahun 1919. Data ini dikoreksi oleh Paul Ravaise[3] pada tahun 1925 menjadi 475 H atau 1082 M. Inilah yang kini umum ditulis, misalnya oleh R. Atmodarminto dan Solichin Salam,[4] yang dijadikan rujukan oleh banyak penulis untuk membuat karya tentang Wali Sanga dan awal masuknya Islam di Jawa.

Berdasarkan laporan yang pernah dibuat sebelumnya, Moquette menguraikan “prasasti” Leran ini secara rinci dan kritis bahwa Fathimah berasal dari lingkungan keluarga tehormat, mungkin dari Arab atau tempat lain di Asia Barat. Berdasarkan akhir baris ketiga dan awal baris keempat: al-syahidah Fathimah, Moquette menyatakannya “meninggal syahid”.[5]

Pembacaan ini mendapatkan tanggapan luas. Kalimat al-syahidah Fathimah diperbaiki oleh Th.W. Juynboll menjadi as-syahirah Fathimah.[6] Guru besar Paul Ravaise berpendapat namanya Al-Mutawaqiyah al-Asimah binti Maemun yang berarti “putri Maemun yang terlindung dari dosa dan kesalahan”.[7]

“Pertanggalan ini menunjukkan bahwa nisan anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara,” demikian dituliskan pada buku panduan Pameran Budaya Islam di aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini: Universitas Islam Negeri = UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tanggal 11-17 September 1995.[8]

Inskripsi nisan Fathimah terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab bergaya Kufi Timur abad ke-11[9] dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat suci Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 26-27 dan surat Ali Imran ayat 185.

Nisan ini --bersama nisan Mawlana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabi’ul awal 822 H atau 8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik-- mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Persia dan Gujarat. Ada pula sarjana yang menyatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.[10]

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat menyatakan, “Buktinya kalau agama Islam … masuk ke Indonesia itu dari Iran (Persia) ialah ejaan dalam tulisan Arab. Baris di atas, di bawah, dan di depan disebut jabar, jer, dan pes. Ini adalah bahasa Iran. … kalau menurut bahasa Arab ejaannya ialah fathah, kasrah, dan dlamah. Begitu pula huruf sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf sin dari bahasa Arab adalah bergigi. Ini salah satu bukti yang terang.”[11]

Akan tetapi, Profesor Sayid Qudratullah (S.Q.) Fatimi justru menggunakan tulisan pada nisan Fathimah binti Maimun untuk mendukung teorinya bahwa Islam berkembang ke Nusantara melalui Benggala. Ia mengkritik para ahli yang dinilainya mengabaikan jirat di Leran tersebut, yang dianggapnya justru mirip batu nisan yang ada di Benggala.[12]


(1) Siapakah Fathimah binti Maimun?

PERTANYAAN SEPERTI  ini tentu saja tidak hanya menjadi hak para penelusur sejarah masa sekarang, melainkan siapa pun yang melakukan hal yang sama baik pada lalu maupun masa yang akan datang.

Ahli sejarah Cirebon abad ke-17 Wangsakerta[13] sebagai pangeran ketiga keraton itu bahkan melakukan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se-Nusantara.

Sewaktu menelusuri silsilah para syaikh (guru) dan sulthan keturunan Nabi Muhammad s.a.w. yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara, Wangsakerta dalam gotrasawala pada tahun 1677 berdiskusi dengan mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.[14]
Hasilnya sebagai berikut:

D1.      Dari Muhammad ke Al-Uraidi: Rasul Muhammad s.a.w. - Fathimah al-Zahra + Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karamahAllahu wajhah (k.w.) - Husayn al-Sabti - Zayn al-‘Abidin - Muhammad al-Bakir – Imam Ja'far Shadiq - ‘Ali al Uraidi.
D2.      Dari Al-Uraidi ke Fathimah: ‘Ali al Uraidi - Sulayman al-Bashri (menetap di Parsi) - Abu Zayn al-Bashri - Ahmad al-Baruni - Sayyid Idris al-Malik - Muhammad Makdum Sidik - Hibat Allah – Maimun - Fathimah.

Masih menurut penelusuran itu, Fathimah menikah dengan pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan penulis Moh. Hari  Soewarno: “Mungkinkah tokoh Maulana Ali Syamsudin[15] yang disebutkan dalam kitab Sunan Giri III/Prapen, Asrår (1618), suami Fatimah?”[16]

Tentang Fathimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud menghubungkannya dengan tradisi lisan Jawa tentang Putri Leran atau Putri Dewi Swara.[17] (Padahal, Putri Leran atau Putri Dewi Suwari dari Majapahit meninggal pada tahun 1313 Ç atau 1391 M.)[18] Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.

Dengan demikian, tidak mustahil Fathimah binti Maimun itu pensyi’ar Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Indonesia. Namun, ada penulis yang menyatakan kakeknya itu pedagang dari Timur Tengah, yang menetap di Leran dan menikah dengan perempuan setempat. Hibat Allah bahkan diduga sudah membangun masjid.[19]

Pada tahun 1980, setelah membaca ulang epitaf[20]-nya, N.A. Baloch, yang menyatakan agama Islam masuk Nusantara saat Rasulullah s.a.w. masih di Makkah, juga mengangkat Fathimah binti Maimun sebagai princes (putri) yang punya kaitan kekeluargaan dengan Malik Ibrahim.

Tak pelak lagi ini menimbulkan penafsiran bahwa Fathimah memegang kekuasaan eksekutif, yang berlangsung jauh sebelum masa Ken Arok dan Ken Dedes (k. 1222-1227) dan Dewi Suhita (k. 1429-1447) dari Majapahit.[21]

Akan tetapi, L.C. Damais tidak melihat adanya data yang dapat menunjukkan bahwa dia turunan bangsawan, melainkan anak pedagang Arab yang sudah lama bermukim di sana. Batu nisannya berasal dari bahan lokal dan, berdasarkan unsur paleografi,[22] ragam hiasnya tidak dijumpai di negeri Islam mana pun.[23]


(2) Kenapa Desa itu Bernama Leran?

APAKAH FAKTOR kebetulan bila desa tempat Fathimah binti Maimun dimakamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.

Cendekiawan muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya, berpendapat, "Di Persia itu ada satu suku namanya ‘Leren’. Suku inilah yang mungkin dahulu datang ke Tanah Jawa, sebab di Giri ada … kampung, Leren namanya. Begitu pula ada … suku namanya … Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf pegon."[24]

Dalam kaitan ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, “Leran sebenarnya nama suku di Iran. Mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan … data lain di Iran sendiri. Di sana pun terdapat … desa yang namanya Jawi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada abad ke-11 itu sudah ada … lalu lintas dagang antara negeri kita dengan Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran.”[25]

Menurut dia, orang Parsi yang datang di Jawa merasa kerasan lalu menetap. Sebaliknya, orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana, juga logis, lalu menamai desanya Jawi, untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa di sana.

“Fatimah binti Maimun jelas orang Parsi yang menetap di Jawa, (tepatnya di) Gresik, lalu perkampungannya di sana hingga sekarang terkenal sebagai Desa Leran,” tulisnya pula.

Lebih jauh, Moh. Hari Soewarno mengutip pendapat G.P. Rouffaer dalam catatan buku W. Fruin-Mees, Geschiedenis van Java, 1918, bahwa “(Di) Kediri pada abad ke-11 … sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, ada yang kuning dan ada yang dicat hijau, … gaya rumah demikian hanya ada di Parsi.”


(3) Kenapa Pula Pelabuhan Gresik?

APAKAH JUGA faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fathimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik dan kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana?

Bersama nisan ulama Persia Mawlana Malik Ibrahim yang berangka tahun 822 H (1419 M), nisan Fathimah yang berangka tahun 475 H (1082 M) dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang jelata Gresik yang telah menganut agama Islam.[26]

Bahkan sebelum pengiriman Wali Sanga periode pertama, sudah banyak pedagang Islam datang berniaga sambil menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.[27] Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik sebagai tempat tinggal mereka di pulau yang saat itu sedang dalam kekuasaan Majapahit.

Dalam hal ini, R. Atmodarminto menulis, “Karena kedatangan agama Islam ke Jawa melalui hubungan dagang, maka yang terlebih dahulu memeluk agama Islam adalah rakyat jelata, seperti para anak kapal (juragan dan kelasinya). Pemusatannya di daerah pelabuhan seperti Tuban, Jepara, serta Gresik, yang sejak ... Erlangga bertakhta (1019-1041 M) telah dibuka untuk hubungan dagang dengan negara manca.”[28]

Menurut Rouffaer, di pantai Tuban, banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke-9-10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah maju pesat.

Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa ini, ahli obat-obatan bangsa Portugis Tome Pires yang menyusuri pantai utara Jawa pada Maret-Juni 1513 sebagai superintendent[29] dan wakil dagang negaranya, mencatatnya dalam jurnalnya yang terkenal, Suma Oriental.[30]

"Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan mullah[31] didatangkan dari luar," catat Tome Pires, yang berangkat ke Malaka pada tahun 1511 dan sampai pada tahun 1512.[32]


(4) Berlayar Cari Besi Bahan Keris

MENGENAI KEMAMPUAN melaut orang Jawa, Babad Tanah Djawi versi J.J. Meinsma[33] menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudra sejauh-jauh sampai ke negeri Sofala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar.

Dengan mengutip data yang ditulis oleh Al-Idrisi pada tahun 549 H/1154 M, B.J.O. Schrieke tak hanya menyebut adanya kapal dari Zabaj (Nusantara) yang secara reguler membawa besi dari Sofala, melainkan juga kehadiran orang Indonesia-Melayu dekat kawasan barat Lautan Hindia pada awal abad ke-12 M. Ia juga menyatakan, pada tahun 844 H/1346 M, ‘Abd al-Razzaq menemukan orang Nusantara di Hormuz.[34]

Moh. Hari Soewarno melihat kepergian jauh itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian seperti cangkul dan sabit serta alat persenjataan, yakni keris, yang bahan bakunya harus dicari sampai ke Afrika Timur. “Itulah sebabnya orang Jawa memberanikan diri ... berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana,” tulisnya.[35]

Bahkan, ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi melainkan juga batu meteorit (watu lintang, batu bintang) sebagai bahan pamor. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud di Arab Saudi, misalnya pamor subhanallahi, alif, dan ahadiyat yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor rahmatullahi yang mendatangkan banyak rejeki.[36]

Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunjukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya dan  bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan peniaga yang sudah mengunjungi Tanah Arab dan memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di Timur Tengah.

Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi orang Indonesia merupakan bangsa pelaut/bahari dan peniaga yang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit, kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung.

Keahlian membuat keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa. Profesor J.L.A. Brandes dalam majalah Tijdschrift Batavias Genootschap (TBG) edisi 32 tahun 1889 menulis bahwa bangsa Indonesia sudah mengenal: (1) wayang, (2) gamelan, (3) metrik (cara dan alat penimbang), (4) batik, (5) logam (dan cara mengolahnya), (6) sistem uang, (7) ilmu pelayaran (men kent betrekkelijk veel scheepvaartkunde), (8) astronomi (ilmu perbintangan), (9) penanaman padi basah, dan (10) sistem pemerintahan yang sangat teratur (een zeer geordende staat van bestuur).
(Gus Moen)


Catatan Kaki:

[0]        Istilah ini berarti perempuan yang menyiarkan agama Islam. Yang lelaki disebut mubaligh. Lihat Harimurti Kridalaksana dkk. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, cetakan kedelapan, 1996, halaman 667.

[1]       Buku Panduan Pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini: Universitas Islam Negeri = UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11-17 September 1995, halaman 4.

[2]       Drs. H.M. Habib Moestopo, Mandala Pesantren Ampel Denta, Tin jauan Sejarah Keberadaan Sunan Ampel di Majapahit sekitar Abad XV Masehi, makalah Seminar Sunan Ampel dalam Perspektif Dakwah Klasik dan Kontemporer di Norbait Hall, Grand Kalimas Hotel, Surabaya, 13-14 Januari 1996, halaman 35, dengan mengutip J.P. Moquette, De Oudste Mohammedanste incriptie op Java, n.m. de grafteen van Leran, Handelingen 1ste Conggres taal, land en volkenkunde van Java, Weltevreden, 1919. Panitia sebenarnya minta makalah berjudul Potret Masyarakat Jawa/Nusantara Menjelang Kedatangan Sunan Ampel (Tinjauan Sosiologis, Kultural, Politik, dan Religius).

[3]       H.M. Habib Moestopo, op.cit., 1996, halaman 35, dengan mengutip P. Ravaise, L’Inscription Coufique du Leran a Java, TBG, LXV, 1925, halaman 668-703.

[4]       R. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik Episode Keislaman dan Kebangsaan, Millenium Publisher, Jakarta, cetakan pertama, Juni 2000, halaman 39, yang naskah aslinya usai ditulis pada 1954 dalam bahasa Jawa modern saat itu, sebagai tafsir atas kitab kuna Babad Demak yang ditemukan di Yogyakarta, dan Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Penerbit Menara Kudus, Kudus, cetakan kedua, 1963, halaman 7.

[5]       Moehamad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam pada Masa Peralihan di Jawa Timur pada Abad XV-XVI --Kajian Beberapa Unsur Budaya, ringkasan disertasi, Universitas Indonesia, Depok, Rabu 30 Agustus 2000, halaman 14, dengan mengutip J.P. Moquette, op.cit., 1919, halaman 391-399.

[6]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip Djajadiningrat, 1927.

[7]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip P. Ravaise, op.cit., 1925, halaman 669-703.

[8]       Pameran ini diadakan oleh Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Kedutaan Besar Republik Arab Mesir di Jakarta.

[9]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip J.P. Moquette, op.cit., 1919, halaman 391-399. Kufi merupakan salah satu ragam terawal kaligrafi Arab zaman Islam. Kesulitannya ialah orang tidak dapat membacanya dengan cepat. Lihat Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (The Concise Encyclopaedia of Islam), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Desember 1996, terjemahan Ghufron A. Mas'adi, 1996, halaman 205.

[10]     Solichin Salam, op.cit., halaman 7.

[11]     Solichin Salam, op.cit., halaman 8, wawancara.

[12]     Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, cetakan pertama, September 1994, halaman 25, dengan mengutip S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Malaysia Sociological Institute, Singapura, 1963, halaman 31-32.

[13]     Drs. Yoseph Iskandar, d.k.k., Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 2.

[14]     Yoseph Iskandar, op.cit., halaman 123.

[15]     Nama ini juga disebut dalam Serat Jayabaya salinan induk dari Kraton Surakarta yang disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode Jav. Hs. KBG. 99, tetapi nama kitabnya bukan Asrar melainkan Musarar. Lihat Dra. Astuti Hendrato-Darmosugito (penerjemah), Serat Jayabaya, PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, cetakan pertama, 1999, halaman 1.

[16]     Moh. Hari Soewarno, Fatimah Tokoh Da’i Islam di Zaman Erlangga, dalam rubrik Kilas Balik Majalah Panggilan Adzan edisi Januari 1990/Jumadil Akhir 1410, halaman 46-51.

[17]     H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa –Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, cetakan keempat, 2001, halaman 22-23.

[18]     M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip Raffles, 1817.

[19]     Prof.Dr. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar –Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cetakan pertama, September 2004, halaman xxviii, 42-43, dan 83.

[20]     Epitaf = tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang dikubur di situ atau pernyataan singkat di monumen. Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., 1996, halaman 268.

[21]     N.A. Baloch, The Advent of Islam in Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Sunan Ampel dan Perang Sabil, makalah Seminar Sunan Ampel dalam Perspektif Dakwah Klasik dan Kontemporer di Norbait Hall, Grand Kalimas Hotel, Surabaya, 13-14 Januari 1996, halaman 8.

[22]     Paleografi = ilmu tentang tulisan kuno. Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., 1996, halaman 718.

[23]     M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip L.C. Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pilihan Karangan L.C. Damais, EFEO-Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 173. EFEO = ?

[24]     Solichin Salam, op.cit., halaman 9, wawancara.

[25]     Moh. Hari Soewarno, op.cit., halaman 46-51.

[26]     R. Atmodarminto, op.cit, halaman 39-40.

[27]     Solichin Salam, op.cit., 1963, halaman 7.

[28]     R. Atmodarminto, op.cit., halaman 39.

[29]     Istilah superintendent ini berarti “orang yang mengelola, mengawasi, dan mengarahkan”. Lihat F.G. and H.W. Fowler/R.E. Allen, The Pocket Oxford Dictionary, Clarendon Press/Oxford University Press, New York, paperback edition, 1985, halaman 755.

[30]     Drs. Atja, Beberapa Catatan Bertalian dengan Mula-Jadi Cirebon, Majalah Kebudayaan Umum (MBU) Budaja Djaja, Jakarta, Nomor 60 Tahun Keenam Mei 1973, halaman 295-312. Atja mengutip Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of the East, from the Red Sea to java, written in Malacca and India in 1512-1515 and The Book of Francisco Rodrigues, Route of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Almanac, and Maps, written and drawn in the East before 1515, translated from Portuguese by ... and edited by ..., 1944, vol. I-II.

[31]     Mullah dari kata Arab "mawla" yang di Iran dan Asia tengah merupakan gelar bagi ilmuwan agama atau ulama. Istilah ini hampir searti dengan istilah “faqih” yang berkembang di masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara. Lihat Cyril Glasse, op.cit., halaman 283.

[32]     Atja mengutip kalimat ini dari Hoesein Djajadiningrat, Kanttekeningen bij Het Javaanse Rijk Tjerbon in de eerste Euwen van zijn Bestaan, Bijdragen, D1 113, 4e Afl. 380, 1957, halaman 381, sedangkan Hoesein Djajadiningrat mengutipnya dari Armando Cortesao, op.cit., 1944, halaman 182-183.

[33]     J.J. Meinsma, Babad Tanah Djawi, in proza. Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javaansche jaartelling, s’Gravenhage, 1874. Cetakan kedua buku ini diterbitkan oleh KITLV pada tahun 1844-1899 terdiri atas dua jilid.

[34]     Azyumardi Azra, op.cit., September 1994, halaman 73, dengan mengutip B.J.O. Schrieke, The Indonesian Sociological Studies, van Hoeve, Den Haag, 1957, II, halaman 245.

[35]     Moh. Hari Soewarno, op.cit., halaman 50-51.

[36]     B.K.R.T. Hertog Djojonegoro, Keris sebagai Objek Penjelidikan Ilmu Kebudajaan, Majalah Al-Djami’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalidjaga, PT Al-Falah, Jogjakarta, No. 1 Djanuari 1966, Tahun Ke-V, halaman  30-50. Artikel ini merupakan bahan pidato/kuliah umum pada rapat senat terbuka IAIN Jogjakarta tahun kuliah 1964/1965.