Rabu, 21 Agustus 2013

Walisongo Yang Nasab dan Sejarahnya Banyak Diselewengkan



Oleh:

Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan

Diantara sekian banyak tokoh agama yang tergabung dalam keluarga besar walisongo dan kehidupannya selalu menjadi perdebatan dalam setiap biografi mereka diantaranya adalah Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Raden Fattah. Tiga tokoh ini tidak bosan-bosannya dalam setiap biografi mereka diselipi cerita tentang kehidupan kehidupan yang kontroversial.

Ketiga tokoh walisongo ini memang sering menjadi perdebatan, baik itu sikap hidupnya maupun ajarannya. Namun untuk Raden Fattah saya fikir sudah terlalu sering dibahas, oleh karena itu Mari kita bahas dua orang walisongo saja yaitu Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga terutama tentang sisi kontroversial mereka yang tidak habis habisnya dibahas banyak orang.

Syekh Siti Jenar, siapa yang tidak dengan nama yang satu ini? Namun sayang, cerita tentang beliau ini sering sekali berbau kontroversial. Banyak sudah tulisan tulisan yang membahas tentang Syekh Siti Jenar ini. Dari beberapa tulisan yang saya amati, kebanyakan sosok siti jenar digambarkan sebagai sosok yang misterius . Kehidupan beliau cenderung dihubungkan dengan hal hal yang mistik alias irasional. Yang lebih aneh lagi, posisi beliau ini sering dijadikan sebagai "lawan" dari majelis dakwah walisongo. Sosok Siti Jenar sering digambarkan sebagai korban dari sebuah "kediktatoran" walisongo dan Kesultanan Demak. 

Cerita-cerita aneh tentang Syekh Siti jenar ini banyak beredar dimasyarakat Jawa dan lucunya banyak yang percaya dengan dengan cerita cerita itu, misalnya ketika Syekh Siti Jenar digambarkan berasal dari cacing yang kemudian menjelma jadi manusia dan kemudian mencuri ilmu Makrifat dari Sunan Giri. Percayakah anda dengan cerita ini? percayakah anda asal usul beliau dari cacing??? Kalau beliau berasal dari cacing, berarti nasabnya terputus dong? Padahal beliau nasabnya jelas, karena beliau adalah seorang Azmatkhan dan merupakan keluarga besar walisongo, Dalam Urusan Nasab memang sering saya dapati jika Syekh Siti Jenar nasabnya dibuat kabur, misalnya dengan dikatakan bahwa Syekh Siti Jenar nasabnya berasal dari Seorang Resi yang beragama Hindu, padahal seperti yang sudah saya katakan bahwa nasab beliau berasal dari Azmatkhan. Percayakah seorang wali sekelas beliau mencuri ilmu??? padahal seseorang yang ingin belajar harus minta izin dulu dari orang yang mempunyai ilmu tersebut, karena tanpa izin dari pemilik ilmu, ilmu yang kita dapat tidak akan membawa berkah. Kontroversi tidak berhenti, ajaran tassawuf yang beliau ajarkan banyak disalahfahami bahkan banyak pula yang menyelewengkan. Manunggaling Kawula Gusti yang saat ini sering dibahas dan sering disamakan dengan ajaran Al Hallaj selalu disematkan kepada beliau . Padahal sebagai seorang ulama yang ruhaninya sudah tinggi, beliau cukup hati hati dalam mengeluarkan setiap pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan dunia tassawuf. Siapa bilang beliau mengatakan dirinya Tuhan??? Ajaran Tassawuf Keluarga Besar Walisongo itu tidak ada yang neko-neko, tarekat yang mereka anut semuanya tidak menyimpang dari ajaran islam, semua tarekat mereka mempunyai sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW termasuk Syekh Siti Jenar ini. Kalau ada orang yang sering mempropagandakan ajaran Manunggaling Kawula Gusti dan ajaran itu terdengar aneh dalam akidah islam, berarti kemungkinan besar itu bukan ajaran Syekh Siti Jenar Yang Asli. KH Dr. Lukmanul Hakim, salah seorang pakar tassawuf, dalam forum tanya jawab di majalah cahaya sufi mengatakan jika ajaran Syekh Siti Jenar yang saat ini berkembang sudah banyak yang menyimpang ketimbang ajaran aslinya. Ajaran Syekh Siti Jenar itu memang tidak menyimpang, dan yang bisa menjelaskan tentang ajaran Syekh Siti Jenar itu bukan sembarang orang, setiap orang yang tidak punya sanad ilmu Thariqoh yang sampai kepada Syekh Siti Jenar, itu tidak boleh sembarangan membicarakan ilmu tingkat tinggi ini, Yang bisa menjelaskan ajaran Syekh Siti Jenar itu adalah seorang Mursyid, bukan pengarang atau sejarawan yang tidak punya sanad Thariqoh yang sampai kepada Syekh Siti Jenar. Saya saja ketika suatu saat mendengar penjelasan tentang Thariqoh yang dianut oleh Syekh Siti Jenar yang disampaikan oleh Mursyid saya, saya jadi faham, jika ajaran yang beliau anut itu memang tidak menyimpang dan memang nuansanya sangat tinggi, sampai sampai saya sendiri kadang sulit untuk memahaminya.

Tentang hukuman mati yang diterima Syekh Siti Jenar oleh Majelis Dakwah Walisongo, ternyata cerita ini adalah fiktif, karena Syekh Siti Jenar wafat secara wajar setelah beliau merasakan "kenikmatan" "bertemu" dengan Allah. Cerita dihukum matinya Syekh Siti Jenar di Depan Masjid Demak, adalah cerita yang ngawur dan tidak berdasar, cerita ini berasal dari mana? Babab Tanah Jawi? Hikayat-hikayat? Aneh cerita ini, yang aneh lagi setelah dihukum mati mayatnya ditukar secara diam diam dengan mayat anjing untuk kemudian dipertontonkan kepada rakyat dan pengikutnya sekaligus sebagai pembelajaran kepada masyarakat agar "jangan macam-macam" terhadap ajaran islam, dan salah satu orang yang menyuruh menukar mayat Syekh Siti Jenar adalah Sunan Gunung Jati! Ah rendah sekali moral Sunan Gunung Jati Kalau begitu, sedangkan Anjing saja najisnya sangat berat, Walisongo itu penganut Mazhab Syafii yang dalam menyikapi najis anjing sangat ketat. Dimanakah logika kita ketika Walisongo digambarkan mengancam rakyat dengan sebuah simbolisasi murahan dengan berubahnya mayat Syekh Siti Jenar menjadi anjing seperti itu, cerita keblinger!!! Syekh Siti Jenar itu anggota walisongo, Syekh Siti Jenar itu satu nasab dengan walisongo, Syekh Siti Jenar itu ajarannya sama dengan walisongo. Beliau adalah sufi yang agung namun tetap menjalankan syariat islam seperti masyarakat umumnya, tidak benar beliau tidak sholat, beliau sholatnya bahkan diatas rata-rata, beliau bahkan wafat dalam keadaan sujud. Syekh Siti Jenar adalah korban manipulasi sejarah yang sangat kronis.

Kalau Syekh Siti Jenar sudah diacak acak sejarah dan nasabnya, Sunan Kalijaga yang merupakan wali di tanah Jawa juga tidak luput dari kondisi ini , Wali yang satu ini adalah wali yang mahsyur, namun betapapun mahsyurnya beliau, masih banyak pula yang memahami beliau secara salah, terutama dari sisi nasab dan sejarahnya. Sampai saat ini nasabnya Sunan Kalijaga masih saja sering diperdebatkan, bahkan kalimat umum yang sering saya dengar dari beberapa orang sejarawan islam, bahwa 1 dari 9 wali berasal dari jawa asli dan sisanya adalah keturunan Arab, Yang satu ini ternyata adakah Sunan Kalijaga. Benarkah Sunan Kalijaga adalah Jawa Tulen? Ini bukan masalah mengangkat masalah SARA, tidak sama sekali! Tapi ini adalah berbicara masalah Fakta dan Kebenaran. 

Beberapa biografi yang ditulis oleh Sholihin Salam atau Umar Hasyim dan beberapa penulis lain seperti Prof Slamet Mulyana ketika bicara tentang nasab Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga nasabnya sering dinisbatkan kepada Majapahit dan Bani Abbasiah dan China. Namun berdasarkan catatan Nasab Keluarga Besar Walisongo yang terhimpun dalam kitab ENSIKLOPEDIA NASAB AL HUSAINI yang DISUSUN OLEH SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN dan SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN< PENERBIT MADAWIS TAHUN 2011, Bahwa Sunan Kalijaga bukan berasal dari nasab Majapahit dan juga Bani Abbasiah. Nasab beliau yang asli berasal dari Keluarga besar Azmatkhan. Adanya penisbatan nasab kepada Majapahit oleh karena ayahnya menjadi pejabat Majapahit, sehingga banyak orang keliru. Setiap pejabat majapahit belum tentu ia asli orang jawa, banyak dari pejabat majapahit juga berasal dari etnis yang lain, termasuk arab. Kenapa mereka bisa menjadi pejabat majapahit? Itu karena mereka mampu berasimilasi dengan baik, termasuk keluarga besar Sunan Kalijaga, sehingga jangan heran jika Sunan Kalijaga itu bisa berasimilasi dengan budaya Nusantara, karena bapak, kakek dan buyutnya sudah lebih dahulu mampu berasimilasi dengan kehidupan dan budaya setempat. 

Banyaknya orang islam yang menjadi pejabat di Majapahit, membuktikan jika islam pada masa itu sudah dikenal dan diterima para bangsawan dan masyarakat. Pejabat majapahit saat itu lebih banyak memakai gelar jabatan yang ada dan ini memang sudah menjadi tradisi sampai sekarang. Ayah dan Kakek dan buyut Sunan Kalijaga itu kesemuanya adalah Azmatkhan. Tumenggung Wilatikto yang bernam asli Sayyid Ahmad Sahuri adalah ayah Sunan Kalijaga sedangkan Syekh Subakir/Maulana Mansur Azmatkhan adalah kakek Sunan Kalijaga. Penisbatan ke Bani Abbasiah juga terasa aneh, karena Bani Abbasiah yang ada di Indonesia pada kurun waktu itu hampir tidak ada, kebanyakan penyebar agama islam apalagi walisongo adalah keluarga besar keturunan Bani Hasyim dari jalur Sayyidina Husein binti Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW. Hampir sulit diketemukan Bani Abbasiah yang hijrah Ke nusantara, Kebanyakan Bani Abbasiah ketika dihancurkan mongol melarikan diri ke arah timur tengah, namun untuk Nusantara sangat jarang terdengar. Dua penisbatan Nasab itu masih belum cukup, ada lagi penisbatan nasab Sunan Kalijaga yang dihubungkan kepada China, seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Slamet Mulyana. Namun akhirnya pendapat ini gugur karena berdasarkan penelitian beberapa sejarawan, rujukan Slamet Mulyana yang berasal dari naskah Residen Poortman ternyata tidak pernah ada, dengan kata lain penisbatan Sunan Kalijaga ke China, tidak diterima.

Kisah populer tentang Sunan Kalijaga adalah ketika ia diceritakan bertapa selama tiga tahun dipinggir kali sampai sampai akar-akar menutup tubuhnya. Sunan Kalijaga diperintahkan Sunan Bonang untuk diam ditepi sungai sambil menunggui tongkat Sunan Bonang, dan tidak boleh bergerak sampai Sunan Bonang kembali. Benarkah cerita ini? Sunan Kalijaga disuruh bertapa dipinggir kali demi untuk mencari ilmu kepada Sunan Bonang sambil menunggu tongkat, benarkah Sunan Bonang mengajarkan muridnya tentang KETAATAN namun dengan cara seperti ini. Mari kita berfikir jernih, apakah ada metode BERTAPA dalam agama Islam? Metode BERTAPA atau MEDITASI itu lebih dekat dengan agama Hindu yang pada masa itu sering dilakukan oleh para Resi atau Pendeta Hindu. Bertapa adalah kebiasaan para Resi ketika itu terutama untuk mengasah kesaktian atau mencari petunjuk Sang Dewa (Tuhan mereka), baik itu dilakukan di Hutan, Gunung, Gua, Pinggir Pantai atau Pinggir Sungai. Sunan Bonang bukan Resi, Beliau adalah Ulama yang menjalankan Syariat Islam secara normal alias tidak neko neko, Resi lebih banyak bicara dunia dewata yang hindu sentris dan kadang banyak sisi mistik yang tentu tidak sejalan dengan Islam, wajarkah Wali yang besar menyuruh seseorang diam ditepi sungai demi memperoleh sebuah ilmu? Kenapa pula tidak beliau ajak Ketempat beliau untuk beliau ajarkan langsung, ketimbang ditelantarkan dipinggir sungai. Konyolnya dalam cerita Sunan Bonang lupa sampai tiga tahun!!!. Wah kasihan sekali Sunan Kalijaga sudah ditelantarkan Sunan Bonang selama tiga tahun, seolah olah Sunan Bonang itu masa bodoh terhadap nasib orang. Terus terang cerita ini sangat aneh jika dihubungkan dengan kitab kitab tentang adab belajar. Bertapa itu beda dengan Uzlah seperti yang sering dilakukan para ulama sufi. Sufi atau Ulama yang melakukan Uzlah (menyendiri) mereka tetap sholat, berzikir, dan kegiatan kegiatan lain sedangkan bertapa berbeda, Bertapa sudah jelas betul betul tidak bergerak kesana kemari. Silahkan anda perhatikan jika orang bertapa, kebanyakan mereka tidak bergerak, dan anehnya mereka sanggup berhari hari seperti yang dilakukan beberapa orang pendeta hindu di India. Mungkin pertanyaannya, bagaimana mereka minum, makan, buang air kecil dan besar? Entahlah bagaimana mengatasi hal itu, namanya juga bertapa, sudah tentu banyak yang tidak sesuai dengan syariat islam. Nah Bagaimana dengan Sunan Kalijaga? 

Menurut saya cerita beliau bertapa dipinggir sungai adalah fiktif! Bagaimana mungkin beliau bertapa secara Full tidak bergerak selama tiga tahun, sedangkan beliau sedang menempuh ajaran islam, bagaimana sholatnya???? Masak untuk belajar agama islam, hal yang paling penting dan mendasar seperti sholat malah dihilangkan. Kemampuan manusia bertapa itu jika diukur dengan logika paling kuat Cuma beberapa hari saja, kalau ada yang kuat sampai 40 hari, menurut saya itu adalah hal yang aneh, kalaupun ada berarti kemungkinan besar kemampuan seperti ini wajib dipertanyakan dari mana asal muasal kemampuan seperti ini. 

Kesalah fahaman tentang cerita Sunan Kalijaga, itu karena banyak orang kurang memahami arti dan sejarah dari nama KALIJAGA itu. Mentang-mentang ada nama KALIJAGA, langsung saja kesimpulan kita mengatakan, Oh itu Ulama yang dulu bertapa dipinggir kali ya..... Munculnya nama Kalijaga itu bukan berarti bahwa Sunan Kalijaga pernah bertapa dipinggir kali. Inilah pentingnya ilmu nasab khususnya bab tentang Nama. Dalam Ilmu Nasab pembahasan tentang Nama Wali itu betul betul dikupas tuntas agar kedepannya bisa difahami secara ilmiah dan rasionsal. Nama Sunan Kalijaga harus kita fahami sebagai sebuah makna yang berhubungan dengan produktifitas dakwah sunan kalijaga. Nama Kali yang berarti air yang mengalir (kali atau sungai pasti airnya mengalir....) dan nama Jaga yang artinya menjaga harus difahami secara filosofis bukan leterleks. Artinya Nama Sunan Kalijaga itu harus difahami secara tersirat bukan tersurat. Nama Kalijaga itu harus difahami secara Pengertian yang luas yang tentu sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga itu sendiri. Diantara Wali wali yang lain, Dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga ini memang unik dan menarik untuk dikaji, Dakwah beliau ini sangat kultural sekali, Sunan Kalijaga sebagai ulama tidak pernah menunjukkan antipati terhadap perbedaan ajaran atau aliran (seperti sungai yang mengalir) yang tidak sesuai dengan Islam. Adanya perbedaan akidah dan budaya justru disikapi dengan bijaksana. Perbedaan aliran/akidah/budaya itu beliau jaga (seperti menjaga) dengan baik dengan cara hidup berdampingan. Aliran aliran yang saat itu berkembang, mulai dari hindu, budha, animisme, dinamisme, dll disikapi dengan toleransi yang tinggi. Toleransi yang beliau terapkan betul betul mengena kepada masyarakat yang aliran atau akidahnya berbeda. Sebagai ulama yang mampu beradaptasi dan mampu memahami budaya lokal, Sunan Kalijaga bahkan dianggap sebagai satu satunya wali yang faham mendalami dan menjaga segala aliran atau agama yang hidup ditengah masyarakat untuk bisa berdampingan dengan agama Islam.

Metode Dakwah dengan budaya yang diterapkan Sunan Kalijaga dan juga beberapa wali ternyata berhasil mengena dihati masyarakat. Lambat laun akhirnya banyak dari mereka yang masuk islam dengan sukarela, karena tertarik dengan gaya dakwah sunan kalijaga yang kultural dan damai karena mampun menjaga toleransi terhadap aliran atau agama yang berbeda ditengah masyarakat, sehingga tidak heran bila kelak Nama Sunan Kalijaga terus melekat ketimbang nama asli beliau.

Betapapun Sejarah dan Nasab Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga sering disalahfahami, diselewengkan bahkan “dirusak” oleh tangan tangan yang tersembunyi, namun nama besar mereka sampai sekarang tetap dikenang banyak orang. Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga adalah dua permata keluarga besar Azmatkhan yang terus akan dikenang banyak orang.
Semoga Sejarah dan Nasab mereka tetap terus terjaga ditangan para ulama ahli nasab...
Wallahu A’lam Bisshowab..........