Jumat, 23 Agustus 2013

Syekh Quro Perspektif Manuskrip Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari

MUSLIM CINÅ ASAL Cempå yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jåwå, Syaikh Hasan al-Din (baca: Hasanuddin), penganut madzhab Hanafi[1], tiba di Purå Dalem, Karawang, Jåwå Barat, pada tahun 1416 M, demikian dikisahkan dalam manuskrip Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari.[2] Ia putra Syèkh Yusuf Siddik.[3] Sayang, hingga naskah ini rampung tersusun, hanya didapatkan data bahwa Syèkh Yusuf Siddik itu “masih ada garis… turunan dengan Syèkh Jamaluddin serta Syèkh Jalaluddin, ulama besar Makkah.”[4]

Pangéran Aryå Carbon menulis Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari di Cirebon pada tahun 1720 M, berdasarkan karya Pangéran Wångsåkertå, Puståkå Nagårå Kretåbhumi, yang dirangkum pada tahun 1694--1695, dengan bahan antara lain karya Mpu Prapåncå: Kåthå Puståkå Desåwarnnånå,[5] yang Anda lebih mengenalnya sebagai Nagårå Kertagåmå.

Aryå Carbon mulai mengetuai Jaksa Pepitu pada tahun 1681. Dalam Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari, dipaparkan riwayat berdirinya Keraton Cirebon dan beberapa kisah lain, termasuk cerita pembangunan permukiman Islam pertama di Jåwå Barat.[6]

Syaikh Hasan datang bersama anaknya: Syèkh Bantong alias Tan Go-hwat, yang kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari istrinya, Siu Te-yo, Syèkh Bantong memperoleh anak perempuan, Siu Ban-ci, yang diperistri oleh Prabu Bråwijåyå V Kertåbhumi. Dari perkawinan ini, lahirlah Pangéran Jin-bun atau Radèn Pråbå alias Radèn Patah, raja pertama Kesultanan Demak-Bintårå.[7]

Karena mengajar orang mengaji Al-Qurän, penduduk setempat memanggil Syaikh Hasan al-Din itu Syèkh Qurå dan pusat pengembangan agama Islam yang didirikannya disebut Pondok Qurå Purå Dalem.[8] Dengan menyebut namanya Syèkh Quråtul-‘Ain Pulobata, ada yang menulis bahwa pesantren ini didirikannya pada tahun 1428.[9]

Syèkh Qurå menikah lagi dengan Ratna Sondari, anak Ki Ageng Karawang. Dari perkawinan ini, lahir Syaikh Ahmad yang menjadi penghulu pertama Karawang. Putri Ahmad, Nyai Mas Kedhaton, melahirkan Musanuddin, yang kelak menjadi lebè Cirebon dan memimpin Masjid Sang Ciptå Råså pada masa Sunan Gunung Jati. Lebè Musa inilah yang disebut Lebè Gusa oleh Tomé Pires.[10]


(1)  Naik Kapal Cheng Ho

SYÈKH QURÅ datang di Karawang dari Cempå menumpang kapal angkatan laut Cinå, yang mengadakan perjalanan keliling atas perintah Kaisar Cheng Tsu atau Yung Lo, raja ketiga Dinasti Ming. Armada yang sedang dalam pelayaran ke Måjåpahit ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) alias Sam-Po-Tay-Kam yang beragama Islam, sedangkan juru tulisnya: Ma Huan.[11]

Karena itu, angka tahun 1416 yang ditulis dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari harus disesuaikan. Menurut Dr.(H.C.) Uka Tjandrasasmita, mungkin peristiwa itu berhubungan dengan ekspedisi Cheng Ho pada tahun 1413--1415, seperti diceritakan oleh Ma Huan, penulis dan penerjemahnya. Pada pelayaran keempat tersebut, tempat yang amat penting antara lain Cempå, Jåwå, Palémbang, Malåkå, Samudrå, Ceylon (Sri Lanka), dan Kalikut (Kalkuta), serta Hormuz.[12]

J.V.G. Mills menduga jalan yang dipakai Cheng Ho dari Suråbåyå ke Palémbang (Chiu-chang, Kukang) melalui Selat Bangka (Peng-chia). Untuk mencapai tempat itu, ia mungkin melalui pesisir utara Jåwå ke arah barat melalui Demak (Tanmu), Pekalongan (Wueh), Cirebon (Che-li-wen), dan Sundå Kelåpå (Chia-lu-pa). Kemudian, ia melintasi Lampung (Lam-pan) di Sumatera dan berlayar sepanjang pesisir ke arah utara lewat muara Wai Tulang Bawang (Tu-lu-pa-wang).[13]

Dikatakan pula bahwa, meskipun di antara tempat penting itu, Cirebon (Che-li-wen) disebut-sebut, namun Ma Huan tidak menceritakan kegiatan apa pun oleh orang Cinå yang dipimpin Cheng Ho tersebut. Ekspedisi tahun 1413--1415 itu menelusuri pesisir utara dari Suråbåyå ke Palémbang, lewat Cirebon dan Sundå Kelåpå.[14]

Menurut Tjaritå Purwåkå Tjaruban Nagari, armada Cheng Ho terdiri atas 63 kapal, dengan prajurit 27.800 orang. Tujuannya yang utama ialah menjalin persahabatan dengan raja tetangga di seberang lautan. Setelah Syèkh Qurå dan anaknya turun di Karawang, armada itu melanjutkan perjalanannya ke timur dan singgah seminggu di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.[15]

Dibandingkan dengan catatan Ma Huan dalam bukunya, Ying Yai Seng Lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudra), ini berarti berlawanan arah. Buku ini ditulis pada tahun 1451. Orang Hui yang berasal dari Kabupatèn Hui Ji (kini: Shao Xing) ini muslim yang pandai berbahasa Arab. Sebagai penerjemah, Ma Huan ikut dalam pelayaran keempat, keenam (1421--1422), dan ketujuh (1431--1433).[16]


(2)  Nyai Subang Larang

SALAH SATU murid Syèkh Qurå ialah dara jelita Nyai Subang Larang,[17] yang lahir pada tahun 1404 M sebagai putri Mangkubumi Mertåsingå Ki Ageng Tåpå. Ketika berangkatbaligh pada usia 14 tahun, dia diajak oleh bibinya ke Malåkå. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Jåwå dan berguru kepada Syèkh Qurå selama kurang lebih dua tahun.[18]

Selesai nyantri, jelita Mertåsingå itu dipersunting oleh Radèn (Pa)manah Råså, raja muda di Sumedang Larang, yang bergelar Prabu Naléndra Pujå Premånå atau Rajasunu. Saat itu, Pajajaran sedang dalam masa perwalian oleh pamannya, Prabu Susuk Tunggal. Dari perkawinan ini, lahir:

  • Pangéran Walang Sungsang pada tahun 1424 M,
  • Nyai Lårå Santang pada tahun 1427 M,[19] dan
  • Råjå Sengårå.[20]

Radèn Manah Råså diangkat menjadi raja Pajajaran dengan gelar Sri Badugå Måhåråjå Ratu Purånå Prabu Guru Déwåtåsrånå (k. 1425--1513). Penganugerahan gelar ini dilakukan oleh kakeknya, Prabu Niskålå Wastu Kencånå, raja Galuh. Keratonnya dinamakan Sang Bimå Untråyånå Madurå Surådipati.[21]

(Sambungannya masih diriset --Gus Moen)


Catatan Kaki Rujukan:

[1]      Paham hukum ini diajarkan oleh Imam Abu Hanifah. Namanya yang sesungguhnya ialah Nu’am bin Tsabit bin Zauthå bin Mah. Ia bangsa Ajam keturunan bangsa Parsi yang bermukim di Afghånistan. Orang tuanya pindah ke Iraq. Ia dilahirkan pada tahun 80 H (669 M) di kota Kufah pada masa pemerintahan Islam dipegang oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan, raja Bani Ummayah. Drs. Yoseph Iskandar, Drs. Dedi Kusnadi Aswin, R. Soenarto Martaatmadja, S.E., Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta H. Gozali Sumarta Winata dan Hj. Mutiah Siti Wulandari (editors), Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga, Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 70.

[2]      T.D. Sudjana, Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, dalam Susanto Zuhdi (penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, cetakan pertama, 1996, cetakan kedua 1997, halaman 212, dengan mengutip Atja (editor), Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon),Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972.

[3]      Drs. Adeng, Dra. Wiwi Kuswiah, Drs. Herry Wiryono, Drs. Heru Erwantoro, dan Drs. Supratikno Rahardjo, M.Hum., (ed.), Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (PIDSN), Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi I, 1998, halaman 21, dengan mengutip
  • Masyhuri, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid IV, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, halaman 150,
  • Atja (ed. dan penerj.), Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sejarah Muladjadi Tjirebon), Seri Monografi No. 5, Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972, halaman 3, dan
  • Toguh Asmar, d.k.k., Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1975, halaman 88.

[4]      Anonim, “Syekh Quro”, 4 September 2008.03:51, sebagaimana dikutip oleh Anonim1, “Syekh Jumadil-Kubro,” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/, 5 Desember 2011.

[5]      Naskah ini telah dialihaksara menjadi dua jilid oleh Saleh Danasasmita dari huruf Purwå Jåwå. Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.),op.cit., Mei 2000, halaman 178, 24.

[6]      Mohammad Guntur Shah, S.Ag., dan Martin Moentadhim S.M. (editor), Sit-Lam: Sejarah Cina-Islam di Indonesia, manuskrip, Sanggar Jangka Langit, Bekasi, Januari 2004, halaman 211, catatan kaki 2.

[7]      T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[8]      T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 213.

[9]      Anonim, op.cit., 4 September 2008, sebagaimana dikutip oleh Anonim1, op.cit., dalamhttp://ahmadsamantho.wordpress.com/, 5 Desember 2011.

[10]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 213.

[11]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[12]     M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M. (ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 213, dengan mengutip Uka Tjandrasasmita, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 57.

[13]     Ibid., dengan menyitir J.V.G. Mills, Ma Huan, Ying-Yai Sheng-Lan, The Overall Survey of The Ocean's Shores, 1433, Cambridge University Press for The Hakluyt Society, London, Extra Series No. XLII, 1970, halaman 35.

[14]     Ibid.

[15]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 212.

[16]     Profesor Madya Kong Yuan Zhi, Sam Po Kong dan Indonesia, tanpa penerbit, Jakarta, cetakan pertama, September 1992, halaman 128, 132--133. Buku ini disunting oleh Prof. Dr. H.M. Hembing Wijayakusuma, Ph.D., dan diterbitkan oleh Hj. Sri Lestari Masagung.

[17]     Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 70, 76,

[18]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.

[19]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.

[20]     Adeng, Wiwi Kuswiah, Herry Wiryono, Heru Erwantoro, dan Supratikno Rahardjo (ed.), op.cit., 1998, halaman 21.

[21]     T.D. Sudjana, op.cit., dalam Susanto Zuhdi (peny.), op.cit., 1997, halaman 211.