Jumat, 23 Agustus 2013

Fathimah Binti Maimun, Syarifah Tertua di Nusantara

Ditulis oleh:

BUKTI TERTUA HURUF Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di makam di Desa Leran, delapan kilometer utara kota Gresik, Jawa Timur.[1] Huruf itu, yang terdapat pada nisan Fathimah binti Maimun bin Hibat Allah, semula dibaca bahwa dia wafat pada tanggal 7 Rabi’ al-Awwal 495 Hijriyah atau 1102 Miladiyah.

Demikian hasil pembacaan oleh J.P. Moquette[2] yang diumumkan pada tahun 1919. Data ini dikoreksi oleh Paul Ravaise[3] pada tahun 1925 menjadi 475 H atau 1082 M. Inilah yang kini umum ditulis, misalnya oleh R. Atmodarminto dan Solichin Salam,[4] yang dijadikan rujukan oleh banyak penulis untuk membuat karya tentang Wali Sanga dan awal masuknya Islam di Jawa.

Berdasarkan laporan yang pernah dibuat sebelumnya, Moquette menguraikan “prasasti” Leran ini secara rinci dan kritis bahwa Fathimah berasal dari lingkungan keluarga tehormat, mungkin dari Arab atau tempat lain di Asia Barat. Berdasarkan akhir baris ketiga dan awal baris keempat: al-syahidah Fathimah, Moquette menyatakannya “meninggal syahid”.[5]

Pembacaan ini mendapatkan tanggapan luas. Kalimat al-syahidah Fathimah diperbaiki oleh Th.W. Juynboll menjadi as-syahirah Fathimah.[6] Guru besar Paul Ravaise berpendapat namanya Al-Mutawaqiyah al-Asimah binti Maemun yang berarti “putri Maemun yang terlindung dari dosa dan kesalahan”.[7]

“Pertanggalan ini menunjukkan bahwa nisan anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara,” demikian dituliskan pada buku panduan Pameran Budaya Islam di aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini: Universitas Islam Negeri = UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tanggal 11-17 September 1995.[8]

Inskripsi nisan Fathimah terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab bergaya Kufi Timur abad ke-11[9] dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat suci Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 26-27 dan surat Ali Imran ayat 185.

Nisan ini --bersama nisan Mawlana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabi’ul awal 822 H atau 8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik-- mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Persia dan Gujarat. Ada pula sarjana yang menyatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.[10]

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat menyatakan, “Buktinya kalau agama Islam … masuk ke Indonesia itu dari Iran (Persia) ialah ejaan dalam tulisan Arab. Baris di atas, di bawah, dan di depan disebut jabar, jer, dan pes. Ini adalah bahasa Iran. … kalau menurut bahasa Arab ejaannya ialah fathah, kasrah, dan dlamah. Begitu pula huruf sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf sin dari bahasa Arab adalah bergigi. Ini salah satu bukti yang terang.”[11]

Akan tetapi, Profesor Sayid Qudratullah (S.Q.) Fatimi justru menggunakan tulisan pada nisan Fathimah binti Maimun untuk mendukung teorinya bahwa Islam berkembang ke Nusantara melalui Benggala. Ia mengkritik para ahli yang dinilainya mengabaikan jirat di Leran tersebut, yang dianggapnya justru mirip batu nisan yang ada di Benggala.[12]


(1) Siapakah Fathimah binti Maimun?

PERTANYAAN SEPERTI  ini tentu saja tidak hanya menjadi hak para penelusur sejarah masa sekarang, melainkan siapa pun yang melakukan hal yang sama baik pada lalu maupun masa yang akan datang.

Ahli sejarah Cirebon abad ke-17 Wangsakerta[13] sebagai pangeran ketiga keraton itu bahkan melakukan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se-Nusantara.

Sewaktu menelusuri silsilah para syaikh (guru) dan sulthan keturunan Nabi Muhammad s.a.w. yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara, Wangsakerta dalam gotrasawala pada tahun 1677 berdiskusi dengan mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.[14]
Hasilnya sebagai berikut:

D1.      Dari Muhammad ke Al-Uraidi: Rasul Muhammad s.a.w. - Fathimah al-Zahra + Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karamahAllahu wajhah (k.w.) - Husayn al-Sabti - Zayn al-‘Abidin - Muhammad al-Bakir – Imam Ja'far Shadiq - ‘Ali al Uraidi.
D2.      Dari Al-Uraidi ke Fathimah: ‘Ali al Uraidi - Sulayman al-Bashri (menetap di Parsi) - Abu Zayn al-Bashri - Ahmad al-Baruni - Sayyid Idris al-Malik - Muhammad Makdum Sidik - Hibat Allah – Maimun - Fathimah.

Masih menurut penelusuran itu, Fathimah menikah dengan pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan penulis Moh. Hari  Soewarno: “Mungkinkah tokoh Maulana Ali Syamsudin[15] yang disebutkan dalam kitab Sunan Giri III/Prapen, Asrår (1618), suami Fatimah?”[16]

Tentang Fathimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud menghubungkannya dengan tradisi lisan Jawa tentang Putri Leran atau Putri Dewi Swara.[17] (Padahal, Putri Leran atau Putri Dewi Suwari dari Majapahit meninggal pada tahun 1313 Ç atau 1391 M.)[18] Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.

Dengan demikian, tidak mustahil Fathimah binti Maimun itu pensyi’ar Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Indonesia. Namun, ada penulis yang menyatakan kakeknya itu pedagang dari Timur Tengah, yang menetap di Leran dan menikah dengan perempuan setempat. Hibat Allah bahkan diduga sudah membangun masjid.[19]

Pada tahun 1980, setelah membaca ulang epitaf[20]-nya, N.A. Baloch, yang menyatakan agama Islam masuk Nusantara saat Rasulullah s.a.w. masih di Makkah, juga mengangkat Fathimah binti Maimun sebagai princes (putri) yang punya kaitan kekeluargaan dengan Malik Ibrahim.

Tak pelak lagi ini menimbulkan penafsiran bahwa Fathimah memegang kekuasaan eksekutif, yang berlangsung jauh sebelum masa Ken Arok dan Ken Dedes (k. 1222-1227) dan Dewi Suhita (k. 1429-1447) dari Majapahit.[21]

Akan tetapi, L.C. Damais tidak melihat adanya data yang dapat menunjukkan bahwa dia turunan bangsawan, melainkan anak pedagang Arab yang sudah lama bermukim di sana. Batu nisannya berasal dari bahan lokal dan, berdasarkan unsur paleografi,[22] ragam hiasnya tidak dijumpai di negeri Islam mana pun.[23]


(2) Kenapa Desa itu Bernama Leran?

APAKAH FAKTOR kebetulan bila desa tempat Fathimah binti Maimun dimakamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.

Cendekiawan muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya, berpendapat, "Di Persia itu ada satu suku namanya ‘Leren’. Suku inilah yang mungkin dahulu datang ke Tanah Jawa, sebab di Giri ada … kampung, Leren namanya. Begitu pula ada … suku namanya … Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf pegon."[24]

Dalam kaitan ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, “Leran sebenarnya nama suku di Iran. Mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan … data lain di Iran sendiri. Di sana pun terdapat … desa yang namanya Jawi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada abad ke-11 itu sudah ada … lalu lintas dagang antara negeri kita dengan Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran.”[25]

Menurut dia, orang Parsi yang datang di Jawa merasa kerasan lalu menetap. Sebaliknya, orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana, juga logis, lalu menamai desanya Jawi, untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa di sana.

“Fatimah binti Maimun jelas orang Parsi yang menetap di Jawa, (tepatnya di) Gresik, lalu perkampungannya di sana hingga sekarang terkenal sebagai Desa Leran,” tulisnya pula.

Lebih jauh, Moh. Hari Soewarno mengutip pendapat G.P. Rouffaer dalam catatan buku W. Fruin-Mees, Geschiedenis van Java, 1918, bahwa “(Di) Kediri pada abad ke-11 … sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, ada yang kuning dan ada yang dicat hijau, … gaya rumah demikian hanya ada di Parsi.”


(3) Kenapa Pula Pelabuhan Gresik?

APAKAH JUGA faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fathimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik dan kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana?

Bersama nisan ulama Persia Mawlana Malik Ibrahim yang berangka tahun 822 H (1419 M), nisan Fathimah yang berangka tahun 475 H (1082 M) dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang jelata Gresik yang telah menganut agama Islam.[26]

Bahkan sebelum pengiriman Wali Sanga periode pertama, sudah banyak pedagang Islam datang berniaga sambil menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.[27] Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik sebagai tempat tinggal mereka di pulau yang saat itu sedang dalam kekuasaan Majapahit.

Dalam hal ini, R. Atmodarminto menulis, “Karena kedatangan agama Islam ke Jawa melalui hubungan dagang, maka yang terlebih dahulu memeluk agama Islam adalah rakyat jelata, seperti para anak kapal (juragan dan kelasinya). Pemusatannya di daerah pelabuhan seperti Tuban, Jepara, serta Gresik, yang sejak ... Erlangga bertakhta (1019-1041 M) telah dibuka untuk hubungan dagang dengan negara manca.”[28]

Menurut Rouffaer, di pantai Tuban, banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke-9-10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah maju pesat.

Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa ini, ahli obat-obatan bangsa Portugis Tome Pires yang menyusuri pantai utara Jawa pada Maret-Juni 1513 sebagai superintendent[29] dan wakil dagang negaranya, mencatatnya dalam jurnalnya yang terkenal, Suma Oriental.[30]

"Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan mullah[31] didatangkan dari luar," catat Tome Pires, yang berangkat ke Malaka pada tahun 1511 dan sampai pada tahun 1512.[32]


(4) Berlayar Cari Besi Bahan Keris

MENGENAI KEMAMPUAN melaut orang Jawa, Babad Tanah Djawi versi J.J. Meinsma[33] menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudra sejauh-jauh sampai ke negeri Sofala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar.

Dengan mengutip data yang ditulis oleh Al-Idrisi pada tahun 549 H/1154 M, B.J.O. Schrieke tak hanya menyebut adanya kapal dari Zabaj (Nusantara) yang secara reguler membawa besi dari Sofala, melainkan juga kehadiran orang Indonesia-Melayu dekat kawasan barat Lautan Hindia pada awal abad ke-12 M. Ia juga menyatakan, pada tahun 844 H/1346 M, ‘Abd al-Razzaq menemukan orang Nusantara di Hormuz.[34]

Moh. Hari Soewarno melihat kepergian jauh itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian seperti cangkul dan sabit serta alat persenjataan, yakni keris, yang bahan bakunya harus dicari sampai ke Afrika Timur. “Itulah sebabnya orang Jawa memberanikan diri ... berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana,” tulisnya.[35]

Bahkan, ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi melainkan juga batu meteorit (watu lintang, batu bintang) sebagai bahan pamor. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud di Arab Saudi, misalnya pamor subhanallahi, alif, dan ahadiyat yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor rahmatullahi yang mendatangkan banyak rejeki.[36]

Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunjukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya dan  bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan peniaga yang sudah mengunjungi Tanah Arab dan memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di Timur Tengah.

Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi orang Indonesia merupakan bangsa pelaut/bahari dan peniaga yang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit, kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung.

Keahlian membuat keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa. Profesor J.L.A. Brandes dalam majalah Tijdschrift Batavias Genootschap (TBG) edisi 32 tahun 1889 menulis bahwa bangsa Indonesia sudah mengenal: (1) wayang, (2) gamelan, (3) metrik (cara dan alat penimbang), (4) batik, (5) logam (dan cara mengolahnya), (6) sistem uang, (7) ilmu pelayaran (men kent betrekkelijk veel scheepvaartkunde), (8) astronomi (ilmu perbintangan), (9) penanaman padi basah, dan (10) sistem pemerintahan yang sangat teratur (een zeer geordende staat van bestuur).
(Gus Moen)


Catatan Kaki:

[0]        Istilah ini berarti perempuan yang menyiarkan agama Islam. Yang lelaki disebut mubaligh. Lihat Harimurti Kridalaksana dkk. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, cetakan kedelapan, 1996, halaman 667.

[1]       Buku Panduan Pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini: Universitas Islam Negeri = UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11-17 September 1995, halaman 4.

[2]       Drs. H.M. Habib Moestopo, Mandala Pesantren Ampel Denta, Tin jauan Sejarah Keberadaan Sunan Ampel di Majapahit sekitar Abad XV Masehi, makalah Seminar Sunan Ampel dalam Perspektif Dakwah Klasik dan Kontemporer di Norbait Hall, Grand Kalimas Hotel, Surabaya, 13-14 Januari 1996, halaman 35, dengan mengutip J.P. Moquette, De Oudste Mohammedanste incriptie op Java, n.m. de grafteen van Leran, Handelingen 1ste Conggres taal, land en volkenkunde van Java, Weltevreden, 1919. Panitia sebenarnya minta makalah berjudul Potret Masyarakat Jawa/Nusantara Menjelang Kedatangan Sunan Ampel (Tinjauan Sosiologis, Kultural, Politik, dan Religius).

[3]       H.M. Habib Moestopo, op.cit., 1996, halaman 35, dengan mengutip P. Ravaise, L’Inscription Coufique du Leran a Java, TBG, LXV, 1925, halaman 668-703.

[4]       R. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik Episode Keislaman dan Kebangsaan, Millenium Publisher, Jakarta, cetakan pertama, Juni 2000, halaman 39, yang naskah aslinya usai ditulis pada 1954 dalam bahasa Jawa modern saat itu, sebagai tafsir atas kitab kuna Babad Demak yang ditemukan di Yogyakarta, dan Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Penerbit Menara Kudus, Kudus, cetakan kedua, 1963, halaman 7.

[5]       Moehamad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam pada Masa Peralihan di Jawa Timur pada Abad XV-XVI --Kajian Beberapa Unsur Budaya, ringkasan disertasi, Universitas Indonesia, Depok, Rabu 30 Agustus 2000, halaman 14, dengan mengutip J.P. Moquette, op.cit., 1919, halaman 391-399.

[6]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip Djajadiningrat, 1927.

[7]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip P. Ravaise, op.cit., 1925, halaman 669-703.

[8]       Pameran ini diadakan oleh Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Kedutaan Besar Republik Arab Mesir di Jakarta.

[9]       M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip J.P. Moquette, op.cit., 1919, halaman 391-399. Kufi merupakan salah satu ragam terawal kaligrafi Arab zaman Islam. Kesulitannya ialah orang tidak dapat membacanya dengan cepat. Lihat Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (The Concise Encyclopaedia of Islam), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Desember 1996, terjemahan Ghufron A. Mas'adi, 1996, halaman 205.

[10]     Solichin Salam, op.cit., halaman 7.

[11]     Solichin Salam, op.cit., halaman 8, wawancara.

[12]     Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, cetakan pertama, September 1994, halaman 25, dengan mengutip S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Malaysia Sociological Institute, Singapura, 1963, halaman 31-32.

[13]     Drs. Yoseph Iskandar, d.k.k., Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 2.

[14]     Yoseph Iskandar, op.cit., halaman 123.

[15]     Nama ini juga disebut dalam Serat Jayabaya salinan induk dari Kraton Surakarta yang disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode Jav. Hs. KBG. 99, tetapi nama kitabnya bukan Asrar melainkan Musarar. Lihat Dra. Astuti Hendrato-Darmosugito (penerjemah), Serat Jayabaya, PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, cetakan pertama, 1999, halaman 1.

[16]     Moh. Hari Soewarno, Fatimah Tokoh Da’i Islam di Zaman Erlangga, dalam rubrik Kilas Balik Majalah Panggilan Adzan edisi Januari 1990/Jumadil Akhir 1410, halaman 46-51.

[17]     H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa –Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, cetakan keempat, 2001, halaman 22-23.

[18]     M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip Raffles, 1817.

[19]     Prof.Dr. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar –Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cetakan pertama, September 2004, halaman xxviii, 42-43, dan 83.

[20]     Epitaf = tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang dikubur di situ atau pernyataan singkat di monumen. Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., 1996, halaman 268.

[21]     N.A. Baloch, The Advent of Islam in Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Sunan Ampel dan Perang Sabil, makalah Seminar Sunan Ampel dalam Perspektif Dakwah Klasik dan Kontemporer di Norbait Hall, Grand Kalimas Hotel, Surabaya, 13-14 Januari 1996, halaman 8.

[22]     Paleografi = ilmu tentang tulisan kuno. Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., 1996, halaman 718.

[23]     M. Habib Mustopo, op.cit., 2000, halaman 14, dengan mengutip L.C. Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pilihan Karangan L.C. Damais, EFEO-Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 173. EFEO = ?

[24]     Solichin Salam, op.cit., halaman 9, wawancara.

[25]     Moh. Hari Soewarno, op.cit., halaman 46-51.

[26]     R. Atmodarminto, op.cit, halaman 39-40.

[27]     Solichin Salam, op.cit., 1963, halaman 7.

[28]     R. Atmodarminto, op.cit., halaman 39.

[29]     Istilah superintendent ini berarti “orang yang mengelola, mengawasi, dan mengarahkan”. Lihat F.G. and H.W. Fowler/R.E. Allen, The Pocket Oxford Dictionary, Clarendon Press/Oxford University Press, New York, paperback edition, 1985, halaman 755.

[30]     Drs. Atja, Beberapa Catatan Bertalian dengan Mula-Jadi Cirebon, Majalah Kebudayaan Umum (MBU) Budaja Djaja, Jakarta, Nomor 60 Tahun Keenam Mei 1973, halaman 295-312. Atja mengutip Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of the East, from the Red Sea to java, written in Malacca and India in 1512-1515 and The Book of Francisco Rodrigues, Route of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Almanac, and Maps, written and drawn in the East before 1515, translated from Portuguese by ... and edited by ..., 1944, vol. I-II.

[31]     Mullah dari kata Arab "mawla" yang di Iran dan Asia tengah merupakan gelar bagi ilmuwan agama atau ulama. Istilah ini hampir searti dengan istilah “faqih” yang berkembang di masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara. Lihat Cyril Glasse, op.cit., halaman 283.

[32]     Atja mengutip kalimat ini dari Hoesein Djajadiningrat, Kanttekeningen bij Het Javaanse Rijk Tjerbon in de eerste Euwen van zijn Bestaan, Bijdragen, D1 113, 4e Afl. 380, 1957, halaman 381, sedangkan Hoesein Djajadiningrat mengutipnya dari Armando Cortesao, op.cit., 1944, halaman 182-183.

[33]     J.J. Meinsma, Babad Tanah Djawi, in proza. Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javaansche jaartelling, s’Gravenhage, 1874. Cetakan kedua buku ini diterbitkan oleh KITLV pada tahun 1844-1899 terdiri atas dua jilid.

[34]     Azyumardi Azra, op.cit., September 1994, halaman 73, dengan mengutip B.J.O. Schrieke, The Indonesian Sociological Studies, van Hoeve, Den Haag, 1957, II, halaman 245.

[35]     Moh. Hari Soewarno, op.cit., halaman 50-51.

[36]     B.K.R.T. Hertog Djojonegoro, Keris sebagai Objek Penjelidikan Ilmu Kebudajaan, Majalah Al-Djami’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalidjaga, PT Al-Falah, Jogjakarta, No. 1 Djanuari 1966, Tahun Ke-V, halaman  30-50. Artikel ini merupakan bahan pidato/kuliah umum pada rapat senat terbuka IAIN Jogjakarta tahun kuliah 1964/1965.